I.
PENDAHULUAN
Terorisme pada
dasarnya merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan dengan
peradaban manuaia itu sendiri. Terorisme sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan, ditengarai telah ada jaman Yunani Kuno, dan pada abad pertengahan (Kerstetter,
1983). Dalam konteks ini, terorisme secara klasik diartikan sebagai kekerasan
atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dalam
masyarakat.
Terorisme mulai
berkembang dengan mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi, elektronik,
transportasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kimiawi. Sejalan
dengan perkembangan revolusi dunia metode teror tidak lagi hanya dilakukan oleh
negara yang direprentasikan oleh para penguasa, tetapi juga mulai dipraktikkan
oleh kaum pergerakan. Bagi kaum pergerakan, teror dan kekerasan dianggap
efektif untuk melemahkan pihak musuh, sehingga dapat membantu mencapai tujuan
memperoleh kebebasan dan kemerdekaan.
Di Indonesia,
terorisme pun sudah dikenal di awal kemerdekaan RI. Radikalisme gerakan Darul
Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Di bawah pimpinan Kartosuwiryo,
menjadi embrio bagi berkembangnya kelompok-kelompok radikal yang menerapkan
teror sebagai metode perjuangan.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian
Terorisme
B.
Karakteristik
Terorisme
C.
Terorisme
Dalam Perspektif Agama
D.
Terorisme
Dalam Perspektif Hukum
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Terorisme
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk
kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal
atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga
mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak
berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para
pelakunya "teroris" layak mendapatkan pembalasan yang kejam.[2]
Definisi terorisme
masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan
dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Amerika Serikat sendiri yang
mendeklarasikan “perang melawan teroris” belum memberikan definisi yang
gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa
dilarang keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan.
Kejelasan definisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap,
dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak, di samping demi kepentingan atau
target meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati oleh
semua orang beradab.
Terorisme dikaitkan dengan persoalan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM). Karena akibat terorisme, banyak kepentingan umat manusia yang
dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah menjadi ongkos kebiadaban, dan
kedamaian hidup antar umat manusia jelas-jelas dipertaruhkan. Namun demikian,
ada komunitas sosial keagamaan yang mengenalkan bentuk implementasi keagamaan
sebagai bagian dari strategi perjuangan. Strategi perjuangan ini dipopulerkan
dalam kategori “jihad”.[3]
Walter Laqueur (1999), mengkaji setidaknya lebih dari seratus
definisi terorisme. Kajian Laqueur menyimpulkan ada unsur-unsur yang signifikan
dari definisi terorisme yang dirumuskan berbagai kalangan, yaitu terorisme
memiliki ciri utama digunakannya ancaman kekerasan dan tindak kekerasan. Selain
itu, terorisme umumnya didorong oleh motifasi politik, dan dapat juga karena
adanya fanatisme keagamaan.[4]
Mengingat sulitnya mendefinisikan terorisme dalam konteks hubungan
internasional, maka kegiatan terorisme hanya dapat didekati dari kesepakatan
atas beberapa ciri utamanya dalam sejumlah kategori, antara lain:
Ø Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dengan tujuan tertentu
secara sistematis
Ø Menggunakan ancaman kekerasan atau melakukan kekerasan tanpa
pandang bulu, baik terhadap musuh atau sekutu
Ø Senaja menciptakan dampak psikologis atau phisik terhadap kelompok
masyarakat atau tertentu
Ø Meliputi kaum revolusioner, ekstrimis politik, penjahat yang
bertujuan politik, dan para lunatik sejati
Ø Pelakunya dapat beroperasi sendiri ataupun sebagai anggota kelompok
yang terorganisasi, bahkan pemerintah tertentu
Ø Motifnya dapat bersifat pribadi, atau destruksi atas pemerintahan,
atau kekuasaan kelompok
Ø Modusnya dapat berupa penculikan untuk mendapat tebusan,
pembajakan, atau pembunuhan kejam yang mungki tidak dikehendaki oleh para
pelakunya
Ø Aksi-aksinya dirancang untuk menarik pehatian dunia atas
eksistensinya, sehingga korban dan targetnya dapat saja tidak berkaitan sama
sekali dengan perjuangan para pelakunya.
Ø Aksi-aksi teror dilakukan karena bermotivasi secara politik
Ø Kegiatan terorisme ditujukan pada suatu pemerintahan, kelompok,
klas, atau partai politik tertentu, dengan tujuan untuk membuat kekacauan di
bidang politik, ekonomi, atau sosial.[5]
Sedangkan berbagai pendapat dan
pandangan menganai pengertian atau istilah yang berkaitan dengan terorisme
dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisasi,
menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berfikir sekaligus alat
pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian tersebut semua memasukkan apa yang
disebut dengan unsur kekerasan.[6]
B.
Karakteristik Terorisme
Menurut
Loudewijk F. Paulus Karakteristik terorisme ditinjau dari empat macam
pengelompokan yang terdiri dari:
· Karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen,
pendanaan danhubungan Internasional.
· Karakteristik operasi yang meliputi: perencanaan, waktu, taktik dan
kolusi
· Karakteristik perilaku yang meliputi: motivasi, dedikasi, disiplin,
keinginan menyerang hidup-hidup.
· Karakteristik sumber daya yang meliputi: latihan atau kemampuan,
pengalaman perorangan dibidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan
transportasi.
Motif
terorisme, teroris terinspirasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya.[7]
Kegiatan
Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga
dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa.
Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat
ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata
psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan
ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa
masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.[8]
Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang
diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin
luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk
kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan
terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and
security of mankind).[9]
Terorisme memiliki beberapa ciri-ciri yang mendasar, dan antara
lain: kegiatan terorisme dilakukan dengan cara kekerasan (contoh pengeboman,
penyanderaan, dan lain-lain) untuk melaksanakan kehendaknya dan cara tersebut
merupakan sebagai sarana (bukan merupakan tujuan), sasaran serangannya adalah
tempat-tempat umum atau obyek vital seperti pusat-pusat perbelanjaan, bandara,
stasiun. Secara korbannya tidak pilih-pilih, kegiatannya sangat profesional dan
rapi sehingga sulit untuk dilacak jejaknya.[10]
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh
sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme
terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta berbagai
negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy)
disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan
yang dikategorikan sebagai Terorisme.[11]
C.
Terorisme Dalam Perspektif Agama
Allah telah
melarang kita untuk membunuh jiwa tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syar’i.
Allah berfirman:
ولا تقتلوا النفس التي حرم الله الا بالحق
Artinya: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa tanpa haq (alasan yang
dibenarkan oleh syari’at untuk dibunuh)”. [Al An’am: 151]
Rasulullah SAW
bersabda dalam sebuah hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah ra:
اجتنبوا
السبع الموبقات ................. :الشرك بالله, والسحر, وقتل النفس التي حرم الله الا بالحق..........
Artinya: “Jauhilah tujuh (dosa besar penyebab) kebinasaan .....
(Yaitu) Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan leh
Allah (untuk dibunuh) kecuali dengan haq (alasan yang dibenarkan oleh
syari’at). [HR. Al Bukhari][12]
Islam sebagai agama yang Rahmatan
lil alamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai
tujuan-tujuan (al-ghoyat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah
Ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubbarrir al wasilah (tujuan tidak
bisa menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis
kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula. Tidak ada alasan
etik dan moral sedikitpun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan, lebih
teror. Dengan demiian kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh
kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran etik
moral Islam, melainkan agenda lain yang tersembunyi di balik tempurung tindakan
tersebut.[13]
Pandangan
keagamaan sejati akan membawa visi kamaslahatan, kerakyatan, kewargaan, dan
kesetaraan. Kamal Abdul Majid pemikir muslim asal Mesir dalam al-irhab wa
al-Islam (Terorisme dan Islam) mengemukakan beberapa prinsip dalam membangun
visi keberagaman yang humanis, inklusif dan pluralis, yaitu:
1.
Manusia,
apapun warma kulit, ras, suku, keyakinan dan agamanya dalam pandangan makhluk
mulia
2.
Pluralitas
dan perbedaan merupakan rahmat dan nikmat Tuhan, bukan ancaman. Menurut Islam,
“yang lain” itu merupakan karib yang mesti diakomodasi dan diajak kerja sama
3.
Darah,
dalam pandangan Islam adalah kehormatan dan senantiasa dipelihara, baik darah
itu muslim maupun non muslim.
Kegiatan
terorisme, meski memakan banyak korban, bukan kejahatan pembunuhan biasa atau
direncanakan. Terorisme dianggap
kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Dan tidak ditujukan untuk
khusus mencubut jiwa seseorang atau kelompok tertentu. Terorisme semata-mata
hendak membuat ketakutan masyarakat dengan menimbulkan korban sebagai sasaran.[14]
Kejahatan terorisme seperti itu tentu
memerlukan jaringan organisasi kuat dan pendanaan yang cukup. Alasannya, untuk
mencapai sasaran antara, korban massal dan ketakutan luar biasa, diperlukan dana
besar dan keahlian khusus, bukan sekedar bisa mengasah pisau atau golok.
Keistimewaan kegiatan terorisme adalah tidak dapat dideteksi lebih awal sebelum
jatuh korban massal karena didukung kegiatan spionase yang bersifat tertutup
dan menggunakan sistem yang amat sulit dilacak. Jika pun berhasil dilacak, hal
itu membutuhkan waktu cukup lama.[15]
D.
Terorisme Dalam Perspektif Hukum
Penegakan hukum
akan menentukan citra dan jati diri negara hukum. Sedangkan negara hukum
terkait erat dengan negara demokrasi, karena kedua bentuk negara ini sama-sama
punya kewajiban menempatkan rakyat sebagai subyek yang dilindungi. Bentuk
perlindungan yang ditunjukkan berupa penegakan hukum (law enforcement).
Negara hukum tidak
bisa dilepaskan dari pengertian negara demokrasi. Hukum yang adil hanya ada dan
bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara demokrasi, hukum
diangkat, dan merupakan respon aspirasi oleh rakyat. Oleh sebab itu hukum dari
rakyat oleh rakyat dan dari rakyat.[16]
Menyadari
sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme,
serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari
Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas
Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual
dibalik peristiwa tersebut.
Hal ini menjadi
prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan
perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal
ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak
cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme.[17]
Pemerintah
Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang
dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus,
dapat tercipta karena:
1.
Adanya
proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena
pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat.
Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan
pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur
dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2.
Undang-Undang
yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan
teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang
telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3.
Suatu
keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus
untuk segera menanganinya.
4.
Adanya
suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.[18]
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari
perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti, melalui
sistem evolusi berupa amandemen
terhadap pasal-pasal KUHP.
1.
Melalui
sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan
hukum acaranya.
2.
Sistem
kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan
terorisme.[19]
Secara dogmatis masalah pokok berhubungan dengan hukum pidana
adalah membicarakan tiga hal, yaitu:
a.
Perbuatan
yang dilarang
b.
Orang
yang melakukan perbuatan yang dilarang itu
c.
Pidana
yang diancamkan terhadap pelanggaran itu.
Pada umumnya tindak pidana hanya bisa dilakukan oleh manusia atau
orang pribadi oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenai orang,
seorang atau kelompok orang sebagai subjek hukum. Subjek hukum atau pelaku
pencemaran lingkungan hidup berdasarkan bunyi Pasal 55 KUH Pidana maka yang
dimaksud dengan pelaku tindak pidana adalah:
ü Orang yang melakukan (Plenger)
ü Yang menyuruh melakukan (memberi perintah) Doen Pleger
ü Orang yang turut serta melakukan (Dader)
ü Orang yang membujuk melakukan.[20]
Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang disahkan menjadi Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di
Indonesia, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme
sebagai berikut : “tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undana-undang ini
(Pasal 1 ayat 1)”
Pasal 1 ayat (1) dalam Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme tersebut, rumusannya sama dengan yang ada dalam draft
rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Terorisme.[21]
Tindak pidana terorisme dalam rumusan Pasal 6 Undang-undang No. 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
dikualisifikasikan sebagai Delik Materiil.
Disebutkan dalam Pasal 6 Undang-undang No. 15 Tahun 2003, bahwa
setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek-objek vital yang setrategis atau lingkungan hidup
atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, di pidana dengan pidana
mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal ini adalah termasuk dalam Delik Materiil yaitu yang
ditekankan pada akibat yang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta
atau kerusakan dan kehancuran.[22]
IV.
KESIMPULAN
Terorisme
adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer meleinkan terhadap
orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Tror adalah menakut-nakuti
dan mengancam. Ia tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan
oleh semua agama. Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban dan
kebinatangan. Akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagai wujud pelanggaran
terhadap hak asasi manusia (HAM). Di dalam agama memang ada tindakan kekerasan
yang dibenarkan, tetapi hal itu sebagai wujud implementasi hukum (syari’ah).
Tetapi cara-cara keji seperti teror dengan mengorbankan rakyat tidak berdosa
tidak dibenarkan oleh agama.
Penggunaan
sistem peradilan pidana merupakan suatu respon terhadap penanggulangan dan
penanganan kejahatan atau kriminalitas, adalah juga merupakan wujud dari usaha
penegakan hukum pidana.
Dalam
Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa yang dimaksud tentang pemberantasan tindak pidana terorisme adalah:
(1) segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan Undang-undang ini (Pasal 1 ayat 1). (2) setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek
vital yang setrategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional (Pasal 6).
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sajikan, semoga dapat menambah ilmu serta bermanfaat
bagi kita semua. Segala kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, kami hanyalah
manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Madkhaly,
Muhammad. Terorisme dalam Tinjauan Islam. Tegal: Makhtabah Salafy. 2002
Al-Kalami,
Haitsam. Siapa Teroris Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001
Ba’abduh,
Luqman bin Muhammad. Mereka Adalah Teroris (Sebuah Tinjauan Syari’at). Malang: Pustaka Qaulan
Sadida. 2005
Hakim,
Luqman. Terorisme di Indonesia. Surakarta: Forum Study Islam Surakarta
(FSIS). 2004
Hulsman,
ML. Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Perbandingan Hukum). Jakarta:
Rajawali. 1984
Kusumah,
W. Mulyana. Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum. Jakarta: FISIP
UI. 2002
Loqman,
Loebby. Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan
Negara di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. 1990
Muladi.
Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi. Jakarta:
FISIP UI. 2002
Projo
Hamidjo, Martiman. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya
Paramita. 1997
Wahid, Abdul. Kejahatan
Terorisme. Bandung: Refika Aditama. 2004
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
http://jhonfreedom.blogspot.com/2009/03/pengertian-terorisme.html
[1] Luqman Hakim. Terorisme
Di Indonesia. Hlm: 6
[2]
http://jhonfreedom.blogspot.com/2009/03/pengertian-terorisme.html
[3] Drs. Abdul
Wahid, SH.,M.A. Dkk. Kejahatan Terorisme. Hlm: 21
[4] Luqman Hakim.
Op., cit. Hlm: 10
[5] Ibid. Hlm:
11-13
[6] Drs. Abdul
Wahid, SH.,M.A. Dkk. Op., cit. Hlm: 31-32
[7] Ibid. Hlm: 33
[8] Loebby Loqman.
Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. Hlm: 98
[9] Mulyana W.
Kusumah. Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum. Hml: 22
[10] Haitsam
Al-Kalami. Siapa Teroris Dunia. Hlm: 27
[11] Muladi. Hakekat
Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi. Hlm: 3
[12] Al Ustadz
Luqman bin Muhammad Ba’abduh. Mereka Adalah Teroris. Hlm:236-237
[13]Drs. Abdul Wahid, SH.,M.A. Dkk. Op., cit. Hlm: 42
[14] Muhammad
Al-Madkhaly. Terorisme dalam Tinjauan Islam. Hlm: 67
[15] Ibid. Hlm: 68
[16] Martiman Projo
Hamidjo. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Hlm: 79
[17]
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
[18] Loebby Luqman.
Op., cit. Hlm: 26
[19] Muladi.
Op.,cit. Hlm: 6
[20] ML Hulsman. Sistem
Peradilan Pidana (Perspektif Perbandingan Hukum). Hlm: 70
[21] Ibid. Hlm: 76
[22] Ibid. Hlm:
76-77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar