Judul
Buku : Feminisme Dan Fundamentalisme
Islam
Pengarang : Haideh Moghissi
Penerbit :
Yogyakarta : LkiS, 1999
Tebal
Buku : xxii + 226 halaman: 14,5x21 cm
PENDAHULUAN
Masyarakat Islam tampaknya terjebak dalam cengkraman dua
arus sosial yang kontradiktif. Seiring dengan terbentuknya metafora-metafora,
simbol-simbol dan ajaran-ajaran Islam sebagai ungkapan politik, semakin banyak
masyarakat disepanjang wilayah Timur Tengah memandang Islam sebagai sebuah
proyek pembebasan.
Pada
saat yang sama, di negara-negara tempat para Islamis berkuasa, semakin banyak
orang, karena merasa kecewa dengan janji-janji mereka yang tidak pernah
terwujud, berpaling kembali pada militansi Islam.
Legitimasi Islam yang digunakan para
islamis semakin memudar seiring dengan semakin lebarnya gap yang terjadi antara
sikaya dan simiskin, dan semakin meningkatnya korupsi terang-terangan yang
dilakukan oleh para penguasa autokrat, mempersulit posisi para pemimpin dari
kelas menengah. Klaim-klaim untuk mewujudakn sebuah masyarakat yang adil hnya
menjadi sebuah lelucon saja.
Selain
kebulatan tekat untuk membatasi hak-hak perempuan, rezim-rezim Fundamentalis
kelihatannya tidak melakukan hal lain selain hanya mempertahankan status
quo,sambil memakaikan topi syari’ah (kolah-e Sharii) semata diatasnya.
Dengan
tidak terwujudnya sebuah masyarakat yang adil, para penguasa Muslim dianggap
sebagai penerus kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang pada pertengahan
1970-an, telah mengantarkan pada krisis yang memunculkan gerakan-gerakan
fundamentalis.
Tekana
kultural-kultural dan kampanye-kampanye moral atas perempuan dan pemuda
membangkitkan keinginan untuk berontak. Akan tetapi, melalui manipulasi
terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat dan penggunaan intimidasi serta
teror yang tidak manusiawi, para Islamis mengamankan kekuasaan mereka dengan
penentangan sengit terhadap para nasionalis-liberal-sekuler dan proyek-proyek
sosialis di sepanjang wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.
Perempuan
paling dirugikan dibandingkan dengan laki-laki akibat konservatisme sosial yang
menjadi simbol gerakan-gerakan fundamendamentalis dimana saja. Mulai dari
Afganistan hingga Algeria, Sudan, Pakistan, dan Iran, bahkan diseluruh
masyarakat Islam, perempuan secara terus menerus diperlakukan secara kasar dan
terjebak dalam pertarungan hebat antara kekuatan sekuler dan fundamentalis.
Perempuan
mengalami teror hebat, remaja-remaja putri tidak henti-hentinya diculik,
diperkosa, dibakar dan dibunuh. Diantara ratusan korban perkosaan, beberapa
dari mereka melahirkan setelah berhasil diselamatkan, tetapi mereka lebih
memilih untuk bersembunyi daripada kembali ke desa-desa mereka.
Banyak teror-teror ini yang diketahui
oleh komunitas internasional. Tetapi pemerintah-pemerintah Barat tetap
menjalankan kebijakan-kebijakan ganda. Seperti kebijakan Reagan yang
kontra-Iran disatu pihak dan penjualan senjata kepada penguasa Iran Ayatollah
Khomeini dipihak lain. Meskipun hal ini mengundang kutukan dari para pejabat
Amerika Serikat sendiri karena pelanggarannya terhadap hak-hak asasi manusia.
Perlakuan
rezim-rezim fundamentalis terhadap perempuan menarik perhatian dibarat.
Perempuan banyak menghiasi komentar-komentar ilmiah dan jurnalistik. Isu
seputar hak-hak perempuan diperkenalkan melalui pernyataan resmi dan laporan
pemerintah. Akan tetapi, isu resebut seringkali dimanfaatkan secara ideologis
untuk mengisolasikan dan menahan musuh-musuh yang kuat. Terbukti, isu hak-hak
perempuan tidak pernah diminculkan ketika berhadapan dengan rekan-rekan
penghasil minyak mereka (Barat) di semenanjung Arabia.
Pernyataan
yang selalu muncul tulisan-tulisan kritis itu untuk kepentingan siapa dan
berpihak kepada siapa? Karena situasi inilah beerapa sarjana menolak memberikan
gambaran-gambaran tentang praktik-praktik dan tradisi Islam yang keras, sebagai
gantinya, mereka lebih yang pada aspek-aspek positif dari kebudayaan
Islam. Akan tetapi, sikap seperti ini juga sangat problematik.
Jalan terbaik untuk mengekpresikan solidaritas
atas keberagaman Muslim adalah tidak mendiamkan karakter-karakter opsesif dari
tradisi kultural seseorang atau praktik-praktik-praktik yang tidak humanis dari
rezim-rezim fundamentalis. Ini berarti tidak turut serta dalam sikap pembelaan
diri yang destruktif yang telah membentuk imaginasi anti-kolonial dalam
masyarakat Islam menolak sikap mengagungkan dan menyesali diri sendiri.
Masyarakat
yang hidup dibawah naungan hukum Islam tidak serta merta budaya (ametaculture),
walaupun sedikit terikat dengan politik Islamis. Banyak orang yang mengalami
diskriminasi dan lebih banyak lagi yang dihukum dengan keji hanya karena alasan
yang semata-mata dipakai untuk melihat perbedaan jalan hidup dan cara pandang
Muslim dan Barat. Akan tetapi, ia juga merupakan sebuah terma yang berguna
untuk menunjukkan perbedaan jalan hidup dan cara pandang di kalangan masysrakat
Muslim.
Bab
1
SEKSUALITAS
TIMUR KHAYALAN DAN KENYATAAN
Penggambaran
mengenai Islam sebagai agama yang aneh dan cenderung menyakiti perempuan,
tampaknya akan selalu eksis. Praktik-praktik kultural dan tradisi-tradisi hukum
yang bernuansa gender menjadi satu tema yang sering kali muncul dalam
cerita-cerita pelancong, laporan-laporan para diplomat dan dalam
catatan-catatan harian para pedagang, dokter, guru, dan orang-orang Eropa
lainnya yang dipekerjakan oleh beragam negara-negara Timur Tengah bahkan siapa
saja yang memiliki hubungan dengan masyarakat-masyarakat Islam.
Gambaran
tentang perempuan muslim
Mentalitas
keras yang mendominasi pandangan penghujat terhadap orang-orang muslim dan
wilayah-wilayah islam digambarkan dalam penelitian Davit Stannards. Stannards
meneliti kerangka berpikir (mind set) bangsa Eropa dan obsesi serta daya tahan
seksual dari rata-rata laki-laki Eropa ke wilayah lain. Sex bebas yang tak
terkontrol, menurut Stannards, termasuk diantara perbuatan kotor yang dinisbatkan
kepada laki-laki non-Eropa.
Manusia
“liar” dipandang sebagai makhluk yang mempunyai daya seksualitas tinggi.
Orang-orang non-Eropa memiliki nafsu seksual yang sangat tinggi. ‘Manusia
liar’, yang merupakan penduduk bumi terbanyak, telah menghuni imajinasi-imajinasi
Barat dan Timur Dekat selama beribu-ribu tahun lamanya. (Stannards, 1992; 124).
Pandangan-pandangan
mencemooh dan mengutuk terhadap tingkah laku seksual dan moral laki-laki Muslim
banyak dijumpai dalam literatur dan tulisan-tulisan ilmiah orang-orang Eropa.
Laki-laki Timur dikritik dan dicaci karena ‘cara hidup yang malas’ dan
‘perbudakan yang mereka lakukan atas perempuan’.
Dalam
kajian lain tentang catatan perjalalan orang-orang Eropa, Lisa Lowe
mengungkapkan fantasi-fantasi seksual para pelancong laki-laki. Menurut
pengamatan laki-laki Eropa, ‘Perempuan Muslim’ jauh lebih bersifat Ketimuran
dibanding laki-lakinya.
Pihak
lain digambarkan sebagai, yang terkekang, terhegemoni dan terbelakang,
dilawankan dengan pihak Barat yang bebas, mandiri dan tercerahkan. Hal nin
dijadikan sebagai sandaran moral untuk melegitimasi relasi-relasi kekuasaan
kolonial.
Feminisme
juga termasuk yang dimunculkan oleh kaum laki-laki Eropa dan mereks
menggunakannya untuk melawan kebudayaan-kebudayaan yang lain. ‘Feminisme
Kolonial’ ini, menurut Laila Ahmad, dimaksudkan untuk melegitimasi misi
peradaban Eropa.
Sejatinya,
eksistensi Islam dalam sebuah ruang dan waktu menunjukkan heterogenitas
‘kebudayaan Islam’. Gagasan mengenai Islam sebagai satu bentuk meta-budaya, mengaburkan
realitas bahwa seperti yang dikemukakan oleh Al-Azmeh Islam sama pluralnya
dengan kondisi-kondisi yang menopangnya. Sama halnya dengan kebudayaan islam,
kebudayaan islam sama banyaknya dengan beragam keadaan geografis, sosial,
tingkat kekayaan dan pendidikan yang dapat dihasilkannya.
Artinya,
kesamaan-kesamaan di kalangan masyarakat Islam dalam menerapkan prinsip
syari’ah tidak boleh mengaburkan perbedaan signifikan antara beragam
interprestasi terhadap Al-Qur’an dan syari’ah dalam kerangka ruang dan waktu
yang berbeda-beda serta beragam konteks sosial yang menentukan tingkat ketaatan
mereka.
Keyakinan-keyakinan
kultural yang mengitari seksualitas perempuan bukan hanya terbatas pada wilayah
ke-ibu-an, ke-istri-an, kesuburan, kesucian, kerandahan hatian dan ketidak
egoisan, yang terkait dengan peranan perempuan dan laki-laki dalam
relasi-relasi gender. Namun, seksualitas perempuan (atau kontrol dan
perlindungan terhadapnya) memiliki makna politik yang lebih kompleks di dalam
masyarakat Islam. Seksualitas bisa dilihat sebagai simbol tatanan-sosial Islami
dan keterbelakangan tradisi. Tindakan mengekang dan menertibkan seksualitas
perempuan, tampaknya telah menjadi pembeda antara kebudayaan Muslim dan Pihak
non-Muslim.
Konsep
Islam Tentang Seksualitas
Dalam
masyarakat Islam, tibuh perempuan identik dengan daya tarik dan kesenangan. Ia
diekploitasi demi keuntungan dan sebagai simbol kehormatan kelompok. Ia
dimanfaatkan dan aktifitas-aktifitasnya dibatasi dengan undang-undang. Ia
ditertibkan agar tidak melanggar dan hak-hak pemiliknya dipangkas untuk
mengantisipasi terjadinya pelanggaran. Semua ini seringkali disertai dengan
sanksi hukum, bahkan sangsi kultural.
Alasan
utama dukungan terhadap praktek-praktek dan keyakinan untuk mengontrol
seksualitas dan moral perempuan sebagai mahluk lemah dalam pertimbangan moral,
memiliki kemampuan kognitif yang rendah, kuat secara seksual dan mudah
terangsang. dalam perspektif ini, perempuan cenderung untuk melakukan
pelanggaran. Dan inilah yang menjelaskan sikap terosepsi dalam kebudayaan Islam
dengan kesucian seksual, dan menjustifikasi pengekangan terhadap perempuan oleh
keluarga, masyarakat dan negara.
Beragam
penafsiran terhadap hukum-hukum Al-Qur’an dan beragam tradisi hukum serta
perubahan-perubahan dalam wilayah keperdataan yang muncul dalam
masyarakat-masyarakat Islam tidak banyak membantu mengakhiri ketidak berdayaan
perempuan dalam masalah pernikahan dan perceraian.
Islam menentang kehidupan membujang dan
menghargai kesenangan seksual sebagai sebuah hak yang sah bagi seorang Muslim.
Hubungan seksual dalam Islam dipandang sebagai sebuah upacara suci dalam rumah
tangga. Inilah alasannya kenapa Nabi memberikan perhatian khusus terhadap
relasi-relasi antara seorang suami dan isterinya. Janji-janji yang diberikan
kepada orang mukmin berupa ‘kehidupan bahagia’ yang menunggunya di Surga,
sebuah dunia dimana hubungan seksual dengan perempuan yang selsmanya muda.
Cantik dan bermata indah nebjadi satu-satunya aktivitas laki-laki, dan barang
kali hal ini menjadi kebahagiaan puncak bagi seorang mukmin.
Karena
islam sangat membenci laki-laki atau perempuan yang membujang serta memberikan hukuman
yang berat terhadap praktik homseksualitas, pernikahan menjadi satu-satunya
media yang diperbolehkan dimana perempuan dapat memperoleh kesenangan seksual.
Tetapi dalam pernikahan poligami hak-hak perempuan untuk memperoleh kesenangan
seksual dibatasi pada satu banding empat dengan hak-hak seorang laki-laki.
Gagasan Islam bahwa perempuan memiliki
daya tarik merisak yang membahayakan tatanan masyarakat Muslim, ketika
aktualkan ke dalam hukum-hukum dan praktik-praktik hukum, memiliki dampak baik
bagi Muslim maupun non- Muslim. Dengan demikian, para Islamis, apakah sebagai
pejabat pemerintah atau anggota pemerintah atau anggota komunitas muslim (umma)
menjadikan diri mereka sebagai para penjaga kesucian moral perempua dalam
masyarakat-masyarakat mereka. Bahkan, prinsip Islam, Amr bi Ma’ruf wa nahi
munkar (menyerukan kepada yang baik dan mencegah yang munkar)
mengenyampingkan segala bentuk pengakuan dan penghargaan atas konsep hak
individu untuk memperoleh kebebasan dan perlindungan hukum yang sama.
Tidak
adanya pemisahan antara agama dan negara, pembagian yang tidak jelas antara
pembuat kebijakan dan hukum dengan para pemimpin spiritual keagamaan dalam
masyarakat Islam, semakin menambah penderitaan masyarakat sipil yang lemah.
Akhirnya,
kelompok fundamentalis Islam, dengan demikian tubuh perempuan sebagai representasi
simbolik bagi kehormatan masyarakat dan dengan hanya berdasarkan Al-Qur’an dan
teks-teks ortodoks sebagai sesuatu yang suci dalam menjelaskan hegemoni
terhadap perempuan yang terjadi dalam perjalanan sejarah masyarakat Islam,
mendaur ulang kembali konsepsi kolonial totaliter terhadap Islam dan hak-hak
perempuan sebagai suatu ajaran yang statis, kekal dan tidak dapat diubah adalah
sama ekstrimnya, dua kutub yang saling bertentangan ini pada akhirnya, dalam
isu-isu penting, berdiri pada satu sisi yang sama. Dengan memanfaatkan tubuh
perempuan sebagai kartu pemainan dalam politik oposisinya, kelompok
fundamentalisme pada kenyataannya menganut betapapun menyakitkan dan tidak
mengenakkan pandangan-pandangan penjajah Barat.
Bab
2
DARI
ORIENTALIS HINGGA FEMINISME ISLAM
Diantara
semua agama ‘Timur’, hanya masyarakat Islam saja yang telah dikonsepkan hampir
sempurna berkenaan dengan peranan determinatif agama. Hanya Islam saja, dalam
versi Orientalisnya, agama benar-benar ta,pak sebagai sebuah organisasi yang
mengatur dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Seperti
yang telah dibahas dalam bab 1, agama juga memeinkan peranan otoritatif dalam
menjelaskan ststus perempuan dalam masyarakat Muslim. Sejatinya, penindasan
terhadap ‘perempuan Muslim’ menjadi pusat apa yang diidentifikasi oleh Edwar
Said sebagai Orientasi Timur Tengah. Artinya, representasi pihak Timur sebagai
lawan Eropa satu perbedaan yang mempertantangkan antara Barat dan Timur.
Said
tidak mengingkari adanya perbedaan nyata dalam realitas manusia, seperti yang
tampak dalam beragam praktik kultural dan nilai sosial. Bahkan, umat manusia,
menurut Said, terbagi ke dalam kebudayaan, sejarah, masyarakat bahkan ras yang
jelas berbeda. Tetapi, sebagai sebuah bentuk pemikiran, Orientalisme menafikan
pembagian-pembagian semacam itu, baik secara historis maupun aktual, demi
menekankan pentingnya pembedaan antara sebagian manusia yang lainnya.
Orientalisme
Said telah menjadi subyek analisis kritis dan penelitian seksama, sering kali
dengan kekakuan ilmiah yang sama seperti karya itu sendiri. Said dikritik
karena memutar balikkan Orientalisme, ahistoris, inkonsisten, navitis dan telah
memalsukan Islam, untuk menyebut hanya sebagian kecil tuduhan yang telah
ditanggapinya. Orientalisme Said dan karya-karya ilmiah anti-orientalis lainnya
tidak secara khusus berkaitan dengan gender.
Satu
Trobosan dalam Kajian Gender dan Islam
Para
feminis yang menganalisis diskursus kolonial mengemukakan sebuah argumen
hegemonik tandingan sambil mengklaim, misalnya, bahwa kuatnya praktik-praktik
seperti cadar dan pemisahan serta pengasingan berdasarkan jenis kelamin simbol
paling dominan perlakuan tidak adil Islam terhadap perempuan pada kenyataannya
terkait erat dengan kehadiran penjajah di wilayah itu, setidaknya dalam
masyarakat Islam seperti Iran, Mesir dan
Algeria.
Kolonialisme,
menurut feminis, dengan menjadikan perempuan Muslim dan hak-haknya sebagai
titik sentral bagi kebijakan imperialis di Timur Tengah, telah semakin
mereduksi identiras perempuan muslim pada batasan tingkah laku dan
keberadaannya di wilayah-wilayah Islam yang terjajah.
Namun
saat ini, kajian-kajian anti-Orientalis tentang gender dan Islam ini sedang
mengemban satu tugas yang sangat berat. Kajian-kajian ini harus mengkounter
prasangka anti Muslim dan representasi neo-Orientalis tentang perempuan muslim,
tanpa harus rejebak dalam sebuah pembelaan apologetik atau pengingkaran diri
atas praktik-praktik gender Islam atau dalam justifikasi terhadap dikursus yang
menindas dan tindakan-tindakan para ideolog dan penguasa Islam.
Kontruksi tentang ‘Perempuan Muslim’
yang Baru
Secara
umum, kajian-kajian tentang perempuan di Timur Tengah bergerak dalam arah yang
benar menuju pada sebuah pemahaman yang lebih terarah dan sensitif tentang
kompleksitas kehidupan perempuan, sambil penggambaran representasi kolonialis
dan Eurosentris yang egois mengenai perempuan dalam masyarakat islam.
Kelmpok
terakhir adalah para sajarawan yang teorisasi mereka mengenai perempuan di
Timur Tengah lebih difokuskan untuk menempatkan perempuan muslim dalam sejarah
sebagai agen-agen sosial dan politik, bukan karena benci kepada islam, tetapi
karena ingin membela islam.
Bagi
para feminis di kalangan kelompok ini, yang terpenting dalam ajaran Islam
adalah ‘ajaran etis dan egaliteriannya’ bukan ajaran legalistiknya. Sebab,
walaupun islam melembagakan hierarki itu pada ajaran etisnya.
Cadar
Sebagai Sarana Pemberdayaan?
Banyak
argumen yang dikemukakan untuk mendukung hijab sebagai sarana pemberdayaan
perempuan runtuh disebabkan pandangan yang kabur mengenai praktik tersebut.
Dalam tulisan-tulisan yang memandang cadar sebagai sarana pemberdayaan, unsur
pilihan itu diambil secara taken for granted, sementara unsur paksaan,
baik dalam bentuk kekerasan atau intimidasi, atau tekanan sosial, kultural dan
politik, sering kali diabaikan sama sekali.
Banyak
tulisan mengenai cadar berusaha meyakinkan perempuan tentang nilai-nilai cadar
dan bahaya berbaur dengan laki-laki. Para juru Dakwah perempuan mengunjungi
rumah-rumah atau memberikan ceramah di masjid-masjid sambil memperingatkan akan
bahaya api neraka, membandingkan gambaran tentang perempuan pendosa yang
menderita dengan perempuan yang memperoleh kebahagiaan, kesenangan dan
perlindungan di bawah jalan hidup Islami.
Gagasan
bahwa cadar memerangi konsumerisme dan menghapuskan perbedaan kelas juga
memerlukan pemikiran yang sungguh-sungguh. Hal yang juga menjadi perdebatan
sengit adalah gagasan bahwa cadar dapat menjadi sebuah perisai yang menjamin
keamanan perempuan dari hasrat-hasrat seksual kaum laki-laki.
Sebenarnya,
penggunaan cadar dan telanjang adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Keduanya menunjukkan bahwa perempuan merupakan tubuh-tubuh tanpa pikiran dan
harus dilindungi atau dibiarkan agar sejalan dengan kepentingan-kepentingan
kapitalis nasional maupun internasional.
Jika
tujuannya adalah memerangi gambaran negatif tentang Muslim dan mempertanyakan
reduksi kolonial atas identitas perempuan Islam, tentu saja kita harus
mengawali dengan pembenaran terhadap pengalaman aktual perempuan, menunjukkan
aspek-aspek positif dari praktik-praktik kultural asing dan respon-respon lokal
perempuan setempat.
Bab 3
RELATIVISME POSMODERN DAN POLITIK PERBEDAAN KULTURAL
Kerangka
Posmodern
Sebagai suatu ternd intelektual, gaya
pemikiran dan bahasa, perlawanan dan skeptisme, posmodernis menjadi satu godaan
yang tidak dapat kita hindari, dalam pengertian longgarnya, yang sering kali
dipakai sebagai sebuah tema pokok yang bersifat terbuka dan tidak perlu
penjelasan lain, posmodernisme bermakna beragam hal untuk membedakan
orang-orang. Unsur-unsur kerangka posmodern yang relevan dapat disimpulkan
dalam terma-terma berikut ini :
Ø Kecewa
terhadap dasar pemikiran sosial modern, modernitas Barat dan demistifikasi
objektifitas pengetahuan dan pengetahuan objektif
Ø Menekankan
narasi-narasi dan menolak meta narasi dan teori-teori utama
Ø Curiga
terhadap gagasan-gagasan klasik tentang pemikiran, kebenaran, kemajuan
universal.
Ø Memperhatikan
penggambaran atau penjelasan tentang pihak-pihak lain, baik khayal maupun
nyata, dan marjinalisasi yang dilakukan mereka terhadap pihak-pihak lain
Ø Tertarik
dengan diskursus sebagai cara berpikir dan studi bahasa sebagai cara berbicara
yang merefleksikan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
Ø Memperhatikan
persoalan-persoalan seksualitas sebagai sebuah konstruk sosial dan keberagaman
dalam perbedaan jenis kelamin
Ø Tertarik
dengan identitas dan gagasan tentang identitas sebagai sebuah pilihan, bukan sebuah
takdir
Ø Tidak
percaya pada kekuasaan
Ø Sadar
bahwa keadaan sesuatu pada saat ini dan masa lalu bukan satu-satunya jalan,
keyakinan-keyakinan dan pengetahuan merupakan konstruk sosial, karena itu
bersifat mungkin dan dapat diubah.
Anti
modernisme dan anti universalisme membuat para sarjarawan anti representasi
terpesona. Tidak di ragukan lagi bahwa
secara umum terlalu banyak keyakinan yang telah memberikan pada kekuatan
pembebas dari modernisasi, seperti dalam pertumbuhan ekonomi dan kemajuan
teknologi.
Menolak
modernitas di Timur Tengah tanpa menawarkan sebuah alternatif yang lebih
manusiawi dan egaliter, berarti mengabsahkan fundamentalisme, mengagungkan
nilai-nilai non-Barat, non-Eurosentris dan pribumi yang harmonis secara
kultural, sebagai satu-satunya harapan yang layak bagi dunia islam.
Kesimpulannya
adalah, jika kaum intelektual Timur Tengah ingin turut mengkritik ‘modernitas’,
mereka perlu mengetahui terlebih dahulu alternatif apa yang ada bagi dunia
islam. Berkat institusi demokratis, sosial, politik dan kultural, kaum
intelektual Barat mungkin dapat memberikan pandangan yang mendalam tentang
rasonalitas, humanisme, universalisme dan modernitas.
Masyarakat
Islam tidak dapat maju dengan bergantung pada nilai-nilai dan gagasan-gagasan
kultural pra-industri. Seperti dikemukakan oleh Tibi, daripada mengeluh dengan
Eropa atau gagasan-gagasan historis Eropa tentang ‘ Pencerahan dan Demokrasi’
akan lebih baik bagi kita untuk menfokuskan perhatian kita pada
kekuasaan-kekuasaan Eropa ( dan Amerika Utara) kontemporer yang
memproklamasikan ‘ Eropanisasi’ menyeluruh terhadap dunia non barat, seraya
melakukan apa saja mereka bisa untuk menjaga keberlangsungannya.
Ketertarikan
buta dengan posmodernisme Barat dapat menjadi sebuah eksperimen intelektual
yang membahayakan bagi kaum intelektual Timur Tengah, yang dengan sembrono
cenderung memberikan dukungan pada gerakan represif tersembunyi yang paling
efektik di wilayah itu: fundamentalisme Islam.
Bab 4
FUNDAMENTALISME ISLAM DAN REKAN LAMANYA
Keyakinan
kelompok fundamentalis akan kebenaran total, mutlak dan ajaran universalnya
bagi keselamatan manusia sangat dibenci oleh kelompok posmodernis. Demikian
juga, penerimaan buta terhadap perbedaan, bahkan pengagungan terhadap yang tak
tergantikan dan unik, serta dorongan terhadap keberagaman tanda, identitas dan
teks-elemen pokok dalam pandangan posmodernis ditolak oleh kelompok
fundamentalis.
‘Islamisme’
mungkin merupakan satu terma yang tepat bagi para penulis yang dengan sadar
berkeinginan untuk tidak melukai siapa pun didunia muslim. Tetapi, terma ini
paling tidak memedahi sebab ia mengumpulkan secara bersamaan beragam kategori
para aktivis islam. Terma kelompok islamis dalam pengertian luasnya dapat
mencakup pada tiga kategori orang-orang yang sangat berbeda. Kategori yang
pertama mencakup pada kelompok atau individu yang apolitik, termasuk para ulama
dan para hakim, atau para pengikut biasa yang aktivitas mereka terbatas pada
seminar-seminar, masjid-masjid dan institusi relegius lainnya.
Kategori kelompok islamis yang kedua adalah
kelompok reformer liberal islam. Orang ini berusaha merubah masyarakat mereka
menurut ajaran-ajaran islam sekaligus menyesuaikan islam dengan
tuntutan-tuntutan modern.
Terakhir,
kelompok islamis yang ketiga mencakup pada kelompok fundamentalis. Kesemuanya
ini merupakan gerakan-gerakan baru yang hampir tidak memiliki reseden
sebelumnya di dunia islam, kecuali kelompok Wahhabi di Saudi Arabiah.
Pada
tingkatan yang lebih luas, fundamentalisme merupakan sebuah penyikapan terhadap
masa. Ia menawarkan suatu keadaan-keadaan awal, masa lalu yang ideal atau masa
keemasan, yang bertentangan dengan masa saat ini dan dapat di hidupkan kembali
baik dengan merujuk kembali pada teks awal atau dengan reformasi masyarakat
sesuai dengan model-nodel yang dipandang sebagai jiplakan dari masa lalu yang
di idealkan.
Kelompok-kelompok
islamis menegaskan bahwa mereka tidak hanya merujuk pada dasar-dasar islam,
tetapi juga menghidupkan kembali dasar-dasar ini. Mereka ini membangunkan umat
muslim yang sedang tidur dengan menyuntikkan ajaran-ajaran islam yang telah
terlupakan kedalam kehidupan, hati dan pikiran mereka.
Mengenai
sikap anti feminimisme mereka, kelompok fundamentalis sama-sama mengecam
perubahan-perubahan dalam relasi gender yang digerakkan oleh menyebarnya
kapitalisme dan feminisme. Mengontrol perempuan dan memperoleh kembali otoritas
keluarga patriarkal merupakan tujuan utama dalam utopia fundamentalis.
Karekteristik
paling jelas dari gerakan-gerakan fundamentalis komitmen mereka untuk
menghidupkan kembali doktrin dan ajaran islam seputar status perempuan. Untuk
tujuan ini, mereka menggali teks-teks islam abab pertengahna yang mengajarkan
aturan-aturan moral atau membuat aturan-aturan tingkah laku bila mana di
butuhkan. Unsur-unsur sebuah aturan tentang pakaian yang di praktikan pada
abad-abad sebelumnya, misalnya,
dinyatakan islami dan orang-orang dipaksa untuk mengadopsi unsur-unsur sebagai
simbol identitas mereka.
Perpaduan
antara pandangan pramodern dan posmodern sangat mencolok tetapi memunculkan
keanehan di masa kita yang susah dan menyusahkan ini. Seperti yang
terefleksikan dalam diskusi-diskusi tentang kompleksitas hak-hak perempuan
dalam masyarakat islam dan khususnya dalam kampanye untuk memperbaiki status
perempuan. Kesamaan keduan pandangan ini tidak hanya sampai pada tingkayan
diaolog filosofis semata, keduanya muncul dengan membawa argumen-argumen dan
solusi-solusi yang mungkin memiliki konsekuensi-konsekuensi berbahaya bagi
perjuangan demokrasi di dunia islam dan perjuangan hak-hak perempuan.
Bab 5
PEREMPUAN, MODERNITAS DAN PERUBAHAN SOSIAL
Kelompok
feminis telah lama menyatakan bahwa hasil modernitas, bersamaan dengan
seperangkat gagasan dan pandangan dunia yang dikenal dengan pencerahan, adalah
paradoksal bagi perempuan. Pengakuan akan kebebasan individual, apakah
didefinisikan sebagai kebebasan dari dogma dan dogma dan toleransi dan dari
institusi-institusi religius yang memungkinkan manusia baru ‘yang rasional dan
ilmiah’ meneliti misteri alam ataukah kebebasan dari rasa takut, keinginan dan
perubahan-perubahan alam, merupakan pencapaian manusia yang memungkinkan setiap
individu dapat bekerja dengan bebas dan kreatif demi emasipasi manusiawi dan
kehidupan sehari-hari yang makmur. Akan tetapi, pembelaan terhadap kebebasan
individual membutuhkan pengakuan akan hak-hak individual vis a vis negara,
termasuk hak akan privasi dan kekayaan pribadi yang harus dilindungi oleh
negara.
Modernitas
telah menciptakan manusia modern dan meninggalkan perempuan di belakang.
Karenanya, modernisme dan modernitas merupakan proyek-proyek semu. Ia
menjanjikan manusia yang sempurna, tetapi sayangnya janji itu kemudian
diingkari.
Dampak
kapitalisme dan industri modern bagi perempuan diyakini juga ambigu.
Kapitalisme maju melalui komersialisasi aktivitas-aktivitas produktif manusia.
Ia melakukan rasionalisasi pasar, memisahkan yang domestik dan pribadi dari
yang publik dan sosial. Dorongan yang kuat akan keberhasilan telah mengabaikan
gagasan-gagasan tardisional tentang penghasilan keluarga yang bertumpu pada
laki-laki serta memaksa perempuan dan anak-anak dari kelas bawah dan
selanjutnya sejumlah kalangan perempuan kelas menengah untuk bekerja.
Pada
saat ekonoi telah dikormesialisasikan, kemampuan-kemampuan tradisional
perempuan seperti membakar, memasak dan menyiapkan tamu, telah hilang; dan
sebuah masyarakat industrial baru dibentuk kembali melalui cara yang memestikan
dominan gagasan dan kepentingan laki-laki dalam dunia kerja dan politik’ (
Bradley, 1996 : 128).
Dalam
mewujudkan perkembangan-perkembangan ini, kapitalisme, bagi Mark, bertindak
sebagai alat bawah sadar sejarah, menghancurkan relasi-relas lama dan
menciptakan relasi-relasi baru. Penegasan Marx bahwa’ setiap sesuatu tampak
sempurna dengan kontrakdiksi-kontrakdiksinya’ terbukti benar saat ini daripada
saat itu. Wilayah publik telah menjadi tempat utama bagi perempuan untuk
menuntut penyingkiran atas rintangan-rintangan sosial dan hukum bagi kesetaraan
gender sekaligus menjadi tenpat bagi kesetaraan gender sekaligus menjadi tempat
bagi perjuangan kolektif yang lebih efektif.
Kelompok
anti-modernis masih harus menerangkan kepada apa yang akan didapatkan oleh
perempuan Timur Tengah dengan menolak gagasan-gagasan, nilai-nilai dan
institusi-institusi yang terkait dengan modernitas. Mereka dapat memulai dengan
mendefinisikan secara jelas kategori hak-hak perempuan di Barat yang tidak
relevan dengan pengalaman-pengalaman perempuan dalam masyarakat Islam.
Mistifikasi
‘Tradisi-tradisi Islam’
Menurut
Lazreg, kita perlu melihat kehidupan perempuan, walaupun dalam kesengsaraan,
sebagi sesuatu yang bermakna, koheren dan dapat dipahami, bukan sebagi sesuatu
yang kita masukkan ke dalamnya kesengsaraan dan kesedihan. Penting juga untuk
menyoroti kenyataan bahwa orang lain, baik perempuan maupun laki-laki,
sama-sama memiliki hak, seperti kita, atas kemanusiaanya yang diungkapkan dalam
cara kulturalnya.
Ketika
menyoroti sejarah cadar dalam masyarakat Islam, misalnya, Hoodfar
memberitahukan kepada kita bahwa cadar bukan fenomena al-Qur’an dan baru pada
dinasti Savawiyah di Iran dan kerajaan Ottoman, cadar muncul sebagai sebuah
simbol status para kelas penguasa Muslim yang berlaku secara luas. Cadar
mebjadi lebih meluas pada abad ke-19, orang-orang muslim menjustifikasinya
dengan nama Islam hanya setelah cadar diajukan oleh para kolonialis sebagai
sebuah simbol masyarakat muslim.
Pelepasan
cadar juga memiliki sebuah dampak membebaskan bagi para perempuan dari kelompok
agam minoritas, khususnya Yahudi yang sebagai akibat praktik-praktik anti-semit
para ulama Syi’ah, tidak diperbolehkan menggunakan cadar di muka umum supaya
dapat dibedakan dengan perempuan Muslim. Sebelum kebijakan-kebijakan
modernisasi Shah Reza yang telah memperlemah kekuasaan para ulama, orang-oran
Yahudi dipandang najis (najjes), dilarang menyentuh makanan, keluar
rumah dan bergaul dengan orang-orang Muslim pada masa-masa penghujan.
Hampir
dalam seluruh masyarakat Islam, perempuan merupakan pejuang garis depan di
dalam pertarungan para intelektual Timur Tengah melawan terorisme negara yang
agresif dan fanatisme Islam.
Tidak
benar bahwa gender adalah dasar umum yang mengikat seluruh perempuan secara
bersamaan. Para feminis sejak lama telah menerima kenyataan bahwa pengalaman
gender perempuan selalu dipengaruhi oleh kelas, ras, seksual, tertentu serta
lokasi nasional mereka.
Keberagaman
dan kompleksitas perhatian perempuan di berbagai negara, bangsa, kebudayaan dan
agama tidak boleh menutupi realitas bahwa tidak ada satupun unsur pramodern
yang begitu sulit untuk dihilangkan sebagaimana dominasi laki-laki, dan bahwa,
pengingkaran terhadap hak istimewa beserta implikasinya terhadap relasi-relasi
gender merupakan bagian integral dari kemasan modernitas.
Bab 6
KELOMPOK FUNDAMENTALISME BERKUASA: KONFLIK DAN
KOMPROMI
Iran
dibawah fundamentalisme barangkali dapat dimasukkan sebagai salah satu dari
keajaiban dunia. Dalam wilayah publik, perempuan dan laki-laki dipisahkan.
Penggunaan cadar dipaksakan, dan kebijakan-kebijakan kerja serta pendidikan
sangat diskriminatif. Keluarga diatur dengan undang-undang yang kaku. Hukum
pidana meliputi rajam terhadap perempuan hingg mati, sebuah hukuman yang
ditafsirkan dari tek-teks Islam ortodoks dan syari’ah.
Perampuan
muslim di Iran tidak lagi terpingkirkan dari aktifitas publik apapun mereka
telah memiliki sekolah-sekolah dan universutas-universitas mereka sendiri,
perpustakaan mereka sendiri, gedung-gedung bioskop mereka sendiri, organisasi
perempuan mereka sendiri, bahkan fashion show dan kompetisi balap kuda mereka
sendiri di mana para ‘zorro perempuan’ dengan chador hitam
berpartisipasi didalamnya.
Proyek
Islamisasi
Tindakan
ini adalah awal dari sebuah akhir. Iran hendak menjadi benteng ‘Islam Sejati’.
Hal ini akan diwujudkan dengan reinstitusi syari’ah dalam hukum-hukum
keluarga, melalui penerapan aturan-aturan moral Islam, dan menghapus
perubahan-perubahan sosial dan hukum pada dekade sebelumnya. Dengan demikian,
ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik, perempuan
tidak dilibatkan dalam wilayah pendidikan dan kerja serta ada de-perempuan-sasi
dalam profesi-profesi tertentu.
Pada
awalnya, demonstrasi, protes, aksi duduk dan mogok kerja yang dilakukan
perempuan memaksa Ayatollaahh dan rezimnya untuk membatalkan kembali kewajiban
memakai cadar.
Hak-hak
hukum perempuan dalam keluarga
Hukum perceraian yang baru (hukum
keluarga) yang diterapkan oleh rezim Islam di Iran merupakan sebuah wilayah
yang sering kali digambarkan sebagai keberhasilan utama bagi perempuan di bawah
pemerintah islam.
Aktivitas-aktivitas
para tokoh perempuan muslim diwarnai dengan gelombang protes melalui aksi duduk
di rumah para Ayatollah oleh para janda perang Iraq, yang berdasarkan syari’ah,
tidak diberikan hak untuk mengasuh anak-anak mereka serta laporan-laporan
tentang angka perceraian yang tinggi.
Tidak diragukan lagi, penerapan kembali
sebuah hukum keluarga merupakan salah satu langkah maju yang diambil setelah
revolusi. Tetapi, seseorang tidak boleh memandangnya secara berlebihan. Karena
sifatnya yang meragukan, hukum keluarga islam mencerminkan batasan-batasan
pembaharuan yang mungkin dapat terwujud dalam sebuah kerangka Islami.
Hukum Qisas
Ketentuan qisas (hukum pembalasan) di
Iran semakin memrepkokoh ketidak setaran gender dan mendorong terjadinya
kekerasan terhadap perempuan. Sesungguhnya ketentuan-ketentuan hukum yang lama
dan bebtuk hukuman barbar (termasuk rajam hingga mati) melanggar hak-hak asasi
manusia baik laki-laki maupaun perempuan. Tetapi, hukum itu tanpa diragukan
lagi dan tanpa sikap apologetik, lebih keras diberlakukan terhadap perempuan.
Ini berarti bahwa di Iran, kehidupan
seorang perempuan (jika didominalkan) lebih murah dibandingkan dengan kehidupan seorang
laki-laki. Ketentuan ini, pada kenyataannya telah menyebabkan meningkatnya
kekerasan terhadap perempuan. Seperti diakui oleh Hakim Kepala Ayatollah Yazdi,
ketentuan ini telah mempertinggi tingkat pembunuhan terhadap perempuan karena
alasan demi kehormatan keluarga.
Ketakutan merupakan alat efektif dalam
memperkokoh kekuasaan laki-laki yang membuatnya tampak tak terkalahkan dan
membuat perempuan tak berdaya.
Kerja Upahan sebagai Lahan Perdebatan
Peningkatan jumlah tenaga kerja
perempuan dalam wilayah publik menjadi sorotan terus menerus dalam
tulisan-tulisan akademis tentang perempuan di Iran, hal ini dipandang sebagai
sebuah simbol kemampuan tarnsformatif pemerintah dan keberhasilan para aktifis
parempuan Muslim dalam memperjuangkan perubahan, walaupun dalam batasan-batasan
ketat dari rezim Islam.
Analisis tentang kesempatan kerja bagi
perempuan secara resmi didasarkan pada data yang dipublikasikan, termasuk
Sensus. Jika dibandingkan antara masa pra-revolusi dan pos-revolusi, dapat
disimpulkan bahwa jumlah tenaga kerja perempuan mengalami peningkatan di bawah
pemerintah Islam.
Dalam kajian tentang tenaga kerja
perempuan, Moghadam, dengan membandingkan hasil sensus tahun 1976 (sensus
terakhir sebelum revolusi) dengan data random tahunan dari tahun 1982, hasilnya
perempuan memiliki kesempatan kerja yang lebih besar daripada mereka dapatkan
pada 1976.
Realitasnya adalah, walaupun data Sensus
1986 menunjukkan sejumlah penurunan tenaga kerja perempuan tenaga kerja
perempuan, tetapi jumlah perempuan yang bekerja dalam industri-industri besar
mengalami kenaikan (Pusat statistik Iran, 1363/1984). Alasannya sangat
sederhana. Republik islam Iran tidak pernah mengalami persoalan dengan
penggunaan tenaga kerja perempuan yang murah dalam industri-industri. Dalam
sebuah artikel lanjutan tentang persoalan ini, yang ditulis untuk memperbarui
karyanya yang sebelumnya tentang tenaga kerja perempuan di Iran, Moghadam
melakukan kesalahan yang sama dan bahkan lebih parah.
Kebanyakan perempuan yang dimaksudkan
oleh Moghadam adalah aparat yang disiapkan untuk mengontrol dan menjaga
perempuan dalam institusi-institusi publik bekerjanya mereka tidak berbeda
dengan kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Islam.
Penolakan terhadap Proyek Islamisasi
Tidak satupun perkataan di atas
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa perempuan telah menjadi korban-korban pasif
dari kebijakan-kebijakan Islamisasi di Iran. Tentunya, sejak Revolusi,
perempuan berada di barisan depan dalam perjuangan mengamankan demokrasi di
Iran. Tidak ada satu elemenpun dari politik pos-revolusioner dapat
mengungkapkan dengan lebih jelas sifat kejam dan keras aturan Islam
dibandingkan polotik gender atavistiknya serta serangan moralnya yang sia-sia
terhadap perempuan.
Setelah dua dekade pemerintah
fundamentalisme, masyarakat Iran menuntut perubahan sosial. Mereka menuntut
sebuah pemerintahan yang adil dan hak-hak individu mereka-sekaligus menyadari
bahwa hal ini mustahil ketika kelompok fundamentalis mengklaim telah mengambil
ajaran-ajaran mereka dari Tuhan semata, seluruh kearifan dianggap telah
tergoreskan dalam teks-teks suci. Di Iran saat ini, proyek islam sudah tidak
berdaya, dan kemampuaannya bagi perubahan kreatif telah terkuras
habis.perempuan dan laki-laki Iran menyadari akan hal ini pada saat mereka
memilih Khatami pada 1997 dengan harapan bahwa dia akan mengfasilitasi
perpindahan pada sebuah pemerintahan sekuler. Terlena oleh ‘perubahan’ dan tidak
merasakan kenyataan pahit yang ditimbulkan oleh rezim fundamentalis,para
pengamat telah merugikan mereka dengan berpegang pada pandangan yang
menyesatkan tentang ajaran islam.
Bab 7
FEMINISME ISLAM DAN
KEKECEWAANNYA
Kelompok feminisme terdorong untuk menghormati
perbedaan, menegaskan kekhasan masing-masing pengalaman dan perjuangan
peremouan dan membenarkan pemahaman-diri dan analisis-diri yang dibangun
masing-masing. Saat ini, feminisme emakin berkembang dan banyak melibatkan
banyak aliran, baik konservatif dan radikal, religius dan ateis, heteroseksual
dan heteroseksual, kulit putih dan non kulit putih, parsial dan holistik,
individualistik dan sosial; dan para feminis banyak bermunculan dari Utara dan
Selatan.
Bahkan, terma’ feminisme islam’ masih memerlukan
penjelasan. Sejatinya, feminisme yang demikian tidak hanya berkembang dengan
artikulasi religius pengalaman perempuan. Bahkan, kata ‘islam’ dalam ‘feminisme
islam’ memunculkan banyak persoalan. Misalnya, jenis ‘islam’ dan keterkaitan
apa yang dimaksud? Apakah kita mengartikan ‘islam’ sebagai sebuah media
menyatukan perempuan dan kekuatan kosmis dalam merespon kebutuhan-kebutuhan
personal dan jenis kelamin tertentu. Apakah ‘feminisme’ dimaksudkan dengan persoalan
kecocokanfeminisme dengan ajaran dan kitab suci islam dan kerangka-kerangka
sosial dan hukum yang telah berkembang dalam masyarakat islam.
Penting untuk diingat bahwa dalam
masyarakat islam, tidak ada satu pun ideologi dan gerakan ‘feminisme islam’yang
menegaskan dirinya sendiri dan atau dengan mudah teridentifikasi. Tentunya, terma
itu telah menjadi bahan perdebatan ideologis, politis dan teoritis. Tetapi
sebagai sebuah konsep dan penanda bagi sebuah aliran feminisme tertentu,
feminisme islam pada awalnya diadopsi dari luar masyarakat islam ia sebagian
besar adalah ciptaan para akademis dan peneliti feminis muslim yang hidup dan
bekerja di Barat.
Jika pada dasarnya feminisme merupakan
sebuah proyek politik dan intelektual yang memperjuangkan hak-hak gender yang
setara dan menuntut akses perempuan dalam kehidupan publik, feminisme (ataupun
tanpa istilah itu) telah senantiasa menjadi suatu hal yang penting dalam
masyarakat Islam.
Peranan pemerintah dalam mendukung
perjuangan perempuan lebih menonjol dalam sejumlah masyarakat Islam dari pada
dalam masyarakat sebelumnya. Perdebatan tentang hak-hak perempuan dan
diskriminasi gender dilibatkan dalam politik resmi di Timur Tengah, seperti di
wilayah lainnya. Feminisme, sebagai sebuah kebijakan resmi untuk menegakkan
hak-hak perempuan dalam keluarga dan dunia kerja, dibebankan pada pemerintah
karena tidak adanya kebebasan demokratis dan sipil, sebuah masyarakat sipil
tidak eksis di dalamnya.
Feminisme Islam dan Aktivisme Gender
Sikap yang diambil oleh kelompok feminis
dan sarjanawan sekuler tentang konsep feminisme Islam sangat beragam. Bagi
mereka, kebencian terhadap feminisme dan tuntutan feminis berada inheren dalam
hukuman-hukuman suci, dan karenanya pembebasan perempuan dalam masyarakat Islam
harus berawal dengan de-Islamisasi terhadap setiap aspek kehidupan. Dengan
demikian, feminisme dan islam tidak dapat direkonsiliasikan.
Pluralitas dan keberagaman politik yang
sehat atau mengenai beragam strategi yang dapat diadopsi oleh kelompok feminis
untuk mewujudkan kepentingan perempuan. Maka kemudian, identitas Islami menjadi
satu ukuran yang cocok bagi segala jubah yang harus dipakai oleh perempuan dan
laki-laki.
Dibekali dengan hukum modern dan
institusi-institusi demokratis di negara-negara lain yang dengan
terang-terangan memberikan pilihan kepada mereka untuk menggunakan atau
menanggalkan identitas muslim sekehendak mereka, para sarjanawan menjadikan
perbedaan sebagai sesuatu yang eksotis, mengubah realitas politik yang kelam di
negara mereka sendiri menjadi permainan intelektual semata.
Mendiakan suara-suara sekuler
Sebagai sebuah penanda yang berbeda,
masing-masing kata ini menunjukkan sifat-sifat tertentu yang dapat diteliti
dalam diskursus dan pandangan sebuah gerakan individual atau polotik. Pada
bagian yang lain, saya telah mengemukakan bahwa menjadi seorang feminis diawali
dengan penolakan untuk menempatkan lebih rendah kehidupan seseorang di bawah
aturan-atuaran institusi religius dan non-religius yang berpihak pada
laki-laki.
Gagasan pokok feminisme adalah, bahwa
perempuan dan laki-laki secara biologis berbeda, tetapi perbedaan ini tidak
boleh diterjemahkan ke dalam sebuah penilaian yang tidak adil tentang
pengalaman perempuan dan laki-laki, perbedaan biologis tidak boleh menyebabkan
perbedaan dalam status hukum, yang satu lebih berhak atas yang lainnya.
Islam dapat didamaikan dengan feminisme
hanya ketika identitas Islami dan kultural semata, sebab perubahan bernilai
apapun dalam perlakuan kepada perempuan dalam masyarakat islam harus diawali
dengan pengakuan terhadap perempuan sebagai warga negara penuh yang bebas,
meliputi kesetaraan hukum keluarga dan hukum sipil lainnya.Perubahan dalam
masyarakat Islam adalah multi-dinensional. Tetapi barang kali ia harus diawali
dengan rule of law, akuntabilitas negara dan pemisahan negara dari
agama. Ini menjadikan feminisme sebagai sebuah proyek praktis yang benar-benar
tidak dapat dipahami dalam kerangka hukum, politik dan moral dari
fundamentalisme islam. Sebab dalam sebuah rezim fundamentalisme, tanda-tanda
keterkaitan tidak pernah cukup, pokok-pokok keyakinan diletakkan sebagai
aturan-aturan dan mereka harus ditaati. Ada campur tangan kekuasaan negara.
Unsur pokok ini lebih sering terlupakan dalam dikursus kelompok feminis Islam.
Intinya adalah, bahwa reformasi,
khususnya dalam masyarakat yang sedang berkembang, merupakan sebuah proses yang
sangat sulit dan rumit. Batasan antara pejuang untuk mengubah status quo dan
secara bertahab menjadi bagian darinya sangat tipis dan licin. Mempertahankan
kemandirian bahasanya sendiri dan tidak membiarkan perkataannya diubah kedalam
bahasa yang dominan, mendesak tuntutan-tuntutan bagi pembaharuan, merupakan
pada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, dan menjadikan sebuah pembaharuan,
merupakan basis untuk mencapai yang lainnya kesemuanya ini merupakan aspek-aspek
paling penting dari sebuah pembaharuan yang sejati.
Akhirnya, perbaikan-perbaikan dalam
kesetaraan relasi-relasi gender hanya akan terwujud ketika perempuan telah
mengamankan ruang yang mereka butuhkan untuk mengartikulasiakan
diskursus-diskursus oposisional dan politik konterkultural. Tentunya sebuah
pemerintahan religius menghalangi pembangunan semacam itu.Islam juga menutup
kesempatan bagi perempuan untuk menformulasikan ‘diskursus tandingan’,
menyandingkan dan mensubordinasikan kembali setiap penentangan politis,
mempersempit kebebasan perempuan dan menyebarkan apa yang dijadikannya sebagai
‘kebenaran tunggal’.
ANALISIS
Dalam buku ini, penulis mencoba
mengekploirasi dan mengkritik kecenderungan-kecenderungan intelektual yang
mungkin dipahami sedang mengadakan konsesi-konsesi dengan rezim-rezim dan
gerakan-gerakan fundamentalis padahal sebenarnya, menyerahkan perempuan pada
hukum besi mereka. Seperti dilansir oleh Beth Baron, perlakuan terhadap
perempuan menjadi bukti kuat akan karakter represif praktik-praktik sosial dan
politik fundamentalis, akan tetapi persoalan semacam ini biasanya
dikesampingkan dalam analisis akademis.
Apakah ini merupakan kecenderungan yang
didorong oleh ketakutan terhadap kekerasan fisik atau oleh sebuah kegelisahan
yang melumpuhkan kalau-kalau seseorang dituduh tidak memiliki sensitivitas
kultural ataukah ia merupakan kecenderungan- kecenderungan Orientalis? Atau
apakah ini merupakan sebuah contoh penyikapan posmodernisme terhadap
praktik-praktik dan institusi-institusi eksotik yang manpak dari kejauhan?
Represi terhadap perempuan oleh rezim fundamentalis dirayakan sebagai
reaksi-reaksi yang otentik dan lokal atas problem-problem internal mereka
sendiri dan ditolelir sbagai satu hal yang tak terhindar sebab sesuai dengan
kebudayaan mereka, apapun alasannya, di balik penampakan mereka yang
kelihatannya radikal, dan penulis berpendapat bahwa perspektif- perspektif
semacam itu sangatlah konservatif.
Sepanjang waktu kita menyaksikan
sensitivitas rezim-rezim otoriter terhadap tekanan internasional adalah tidak
henti-hentinya melakukan tekanan terhadap rezim-rezim dan gerakan-gerakan
fundamentalis Islam atas nama penghargaan terhadap perbedaan dan otentisitas
kultural.
Seperti yang telah dibahas dalam bab 1,
kita dapat menemukan manfaat argumentasi
yang menyatakan bahwa pengalaman perempuan dalam masyarakat Islam memiliki
aspek-aspek yan lebih dari pada hanya kehidupan yang dipenuhi dengan ketakutan
dibawah rezim-rezim fudamentalis. Tentunya, analisis sepihak akan mencabut
semangat dan kemanusiaan perempuan Muslim, kekuatan serta kebangkitan mereka
untuk meraih keberhasilan, termasuk sejarah perjuangan panjang mereka bagi
perubahan.
Di samping itu, Islam menerapkan
aturan-aturan yang tidak konsisten terhadap perempuan. Tingkat rigiditas
syari’ah Islam tergantung pada tingkat perkembangan sosio-ekonomi dan
tradisi-tradisi budaya lokal. Akan tetapi, ayat-ayat al-Qur’an dan hukum-hukum
syari’ah, seperti yang ditafsirkan oleh para ulama (juris) lokal secara
kontinyu menegaskan status hukum perempuan dan memberikan sebuah dasar bagi
praktik-praktik sosial dan kultural yang berkaitan dengan gender. Ini adalah
masalah keseimbangan.
Dalam bab 2, menerangkan bahwa perempuan
Muslim, yang muncul dalam beberapa tulisan akademis yang menentang gambaran
negatif mengenai mereka, dapat sama sepihak dan menyesatkan dengan
pandangan-pandangan tradisional. Sebab menurut pemahaman baru ini, Islam juga
muncul sebagai sebuah entitas yang mencakup atas segala sesuatu yang ada di
Timur Tengah, bedanya Islam menyajikan perempuan muslim sebagai sebuah makhluk
yang dihormati secara penuh dan terbedayakan secara spiritual. Tidak teracuni oleh
Barat, seorang perempuan muslim menikmati hak yang sama dalam aktifitas publik
dan aturan tingkah laku, rasa aman dari kekerasan yang membuat iri hati
perempuan di Barat yang telah maju.
Jika dalam pandangan Orientalis, Islam
dikutuk karena karakter gender opsesifnya yang tetap dan tidak dapat diubah
dalam pandangan neo-Orientalis, Islam dihargai karena kemampuan adaptifnya yang
bersahabat dengan perempuan serta kekuatan pembebasannya.
Menegaskan apa yang telah dipahami oleh
perempuan dan membiarkan mereka berbicara bagi diri mereka sendiri merupakan
satu hal yang masuk akal. Akan tetapi, haruskah hal ini dilakukan dengan
menghindari pertentangan langsung dengan fundamentalisme Islam? Kenapa dalam
literatur akademis sedikit sekali dijumpai pengutukan terhadap
kejahatan-kejahatan yang dilakukan atas perempuan atas nama agama, dengan
mengabaikan penderitaan hidup yang dialami oleh perempuan dibawah kekuasaan
fundamentalis, tidakkah para intelektual sekuler telah menerima batasan-batasan
yang telah ditetapkan oleh para Islamis, mereduksi sikap oposisi pada tingkatan
yang lebih abstrak.
Dalam Bab 3 dan 4, disini mendapati
perdebatan-perdebatan tentang perempuan muslim sangat dipengaruhi oleh trend
akademis, khususnya di Amerika Utara, termasuk relativisme posmodern,
anti-orientalisme dan politik identitas.
Dalam menguraikan pokok-pokok argumen
relativisme posmodern dan fundamentalisme Islam, penulis berusaha menunjukkan
bahwa, kedua trend akademis tersebut, ironisnya sama-sama memiliki sebuah
landasan umum berupa kebencian terhadap proses-proses perubahan sosial,
kultural dan politik yang berasal dari Barat yang dikenal dengan nama
Modernitas. Persamaan-persamaan lainnya adalah penolakan mereka terhadap proyek
Barat bagi reformasi relasi-relasi gender, penghargaan yang sangat tinggi atas
sesuatu yang selain Barat dan kritik parsial mereka terhadap kapitalisme tidak
menolak kapitalisme sekaligus tidak memimpikan sebuah masyarakat sosial sebagai
sebuah alternatif yang dapat menjadi penggantinya.
Anti orientalisme dan posmodernisme
mungkin telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi analisis kultural, akan
tetapi dalam keasyikannya membela mereka yang telah direkonstruksi sebagai
pihak lain (Other), mereka telah membuat diri mereka sendiri terjebak dalam
pencarian gegabah terhadap sesuatu yang bersifat eksotik dan lokal. Jika para
orientalis memunculkan sebuah ilusi atau gambaran yang tidak sebenarnya tentang
perempuan Muslim Timur, para posmodernis melawan mereka dengan mendasarkan
model ini pada pandangannya sendiri. Dalam usahanya untuk melegitimasi apa yang
dialami oleh perempuan muslim, batasan-batasan ketat fundamentalis berupa
simbolisasi perempuan Muslim kedalam revivalisme, integritas dan otentitas
kultural dibenarkan. Pada akhirnya, para fundamentalis ketika memberikan
solusi-solusi bagi krisis-krisis modernitas dan modernisasi.
Pada bab 5, ada dua hal yang sangat
penting. Yang pertama, karakter eksploitatif, tidak adil dan
diskriminatif pembangunan yang diasosiasikan pada modernitas di Barat adalah
satu fakta yang tak terbantahkan. Namun, ini bukan berarti bentuk-bentuk
pramodern lebih baik bagi perempuan. Fakta ini juga tidak dapat meyakinkan kita
untuk memperoleh hak-hak yang telah diperoleh oleh perempuan di Barat yang
tidak ada kaitannya dengan apa yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat
Islam. Kedua, feminisme mengambil beragam bentuk dan mengedepankan
beragam bentuk dan memgedepankan beragam tuntutan yang cenderung membedakan
konteks sosial, ekonomi dan kultural. Akan tetapi, beragamnya prioritas tidak
berarti sekaligus aspirasi-aspirasi yang beragam.
Perempuan diseluruh Timur Tengah dan
Afrika Utara yang menentang kebijakan-kebijakan Islamisasi dan berjuang melawan
aturan-aturan dan tingkah laku moral yang khas secara kultural dari kelompok
fundamentalis, bercita-cita dan berhak memperoleh hak-hak dasar seperti yang
telah dinikmati oleh perempuan di Barat. Menasehati perempuan Timur Tengah
bahwa mereka seharusnya memperjuangkan hak-hak perempuan dalam
ideologi-ideologi mereka sendiri yang secara kultural otentik, yakni kerangka
Islam, berarti berpendapat bahwa feminisme adalah dan harus tetap menjadi
wilayah khusus perempuan di Barat. Argumen-argumen semacam itu juga membenarkan
ajaran fundamentalis yang memandang feminisme dan nilai-nilai baratnya sebagai
musuh utama bagi perempuan dalam masyarakat Islam.
Bab 6 membahas politik-politik gender
kelompok fundamentalis pada saat mereka mengambil alih kekuasaan pemerintah,
dengan mengambil kasus utama Iran
Untuk memahami politik-politik gender para Islamisasi sejak revolusi
1979 (praktik-praktik Islamisasi ketat mereka pada tahun-tahun awal, manipulasi
cerdik mereka atas tuntutan-tuntutan dan taktik-taktik feminis pada tahun-tahun
berikutnya) serta pasang surut reaksi-reaksi perempuan terhadap
kebijakan-kebijakan Islamisasi di Iran dan reaksi-reaksi perempuan terhadap
kebijakan-kebijakan itu berusaha mengingatkan pada analisis-analisis yang hanya
berbicara mengenai betapa bagusnya keberhasilan yang dialami perempuan, betapa
mengagumkannya manuver yang mereka lakukan dan betapa terampilnya mereka ketika
mempertahankan kemanusiaan mereka.
Analisis-analisis semacam itu menafikan
akibat negatif fundamentalisme Islam bagi perempuan, kelompok minoritas keagamaan,
kelompok minoritas etnis, nasionalis sekuler dan intelektual sosialis. Selam
hampir dua dekade, perlawana perempuan diekspresikan dalam bentuk-bentuk
sederhana yang seluruhnya menolak proyek kelompok fundamentalis dan ortodoksi
Islam yang diwakilinya. Dengan banyaknya reaksi yang beragam.
Bab terakhir menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan feminisme Islam. Dapatkah islam
menghadirkan sebuah paradigma refolusioner baru dan sebuah alternatif bagi
feminisme barat? Pertanyaan ini bukan salah satu upaya mengakurkan antara islam
dan feminisme. Feminisme memiliki jenis yang bermacam-macam dan fleksibilitas
yang cukup untuk mencakup seluruh individu dan gerakan-gerakan yang
mengidentifikasi dirinya sendiri atau diidentifikasi oleh yang lain sebagai
feminis dengan didasarkan pada karakteristik-karakteristik ideologis dan
politik yang dapat dibedakan.
Agaknya, problem muncul bersamaan dengan
usaha para feminis dalam masyarakat islam untuk menjadikan islam sebagai
satu-satunya proyek yang secara kultural otentik atau dapat diterapkan. Dalam
situasi ini, perempuan dalam masyarakat islam sekali lagi tereduksi pada
identitas keislaman mereka, sekaligus menghapuskan perbedaan-perbedaan
signifikan yang melintasi garis-garis etnis, agama, kelas dan budaya.
Sejarah gerakan-gerakan perempuan yang
menonjol di beberapa masyarakat Timur Tengah dan eksistensi tradisi feminis
dalam suatu wilayah ditunjukkan oleh suara-suara perempuan yang memiliki
kesadaran gender yang sejak abad ke-19, telah mengartikulasi
keprihatinan-keprihatinan perempuan dalam masyarakat islam. Meskipun banyak
dari para pelopor tersebut meresa terdorong untuk menentang syariah islam dan
ajaran-ajaran misoginisnya dengan jalan mengadakan penafsiran-penafsiran Al
Qur’an yang lebih bersahabat dengan perempuan, tidak satu pun perjuangan mereka
dilakukan di bawah bendera feminisme islam.
Dalam desakan atas feminisme islam, kita
menyaksikan pengaruh politis dan diskursif fundamentalisme islam, seperti para
pendukung jalan ini menyerang agenda para intelektual sekuler, termasuk para
feminisme. Sebenarnya, pandangan-pandangan yang tumbuh subur tentang feminisme
islam merefleksikan sebuah sikap kepasrahan mendalam yang menyangka
proyek-proyek liberal nasionalis sekuler dan sosialis telah berakhir dalam
masyarakat islam.
Kompleksitas dinamika perjuangan gender
dalam masyarakat islam membutuhkan banyak perhatian analitis. Kita perlu
mempertimbangkan kembali dogma-dogma lama, persepsi-persepsi ideologis dan
streotip-streotip kultural, seraya membenarkan pengalaman-pengalaman dan
suara-suara perempuan.
Tidak ada kejadian politik apapun di
Timur Tengah pada dua dekade terakhir yang memaksa kita mengambil kesimpulan
bahwa solusi yang diberikan oleh suatu wilayah kepada perempuan (dan kaum
laki-laki) adalah solusi islami. Fundamentalisme islam tidak memberikan jawaban
bagi luasnya dominasi ekonomi, politik dan kultural Barat di wilayah Timur
Tengah dan ia tidak mencerminkan sebuah alternatif yang khas secara kultural
bagi modernisme yang digerakkan di bawah pengawasan Eropa dan Amerika Utara.
Setelah mengutarakan ini semua, saya
sangat yakin tentang masa depan perjuangan perempuan bagi hak-hak hukum mereka
dan demokratisasi udaya dan masyarakat Timur Tengah. Hal yang mendorong
munculnya optimisme ini adalah meskipun sangat sulit, reformasi tetap menjadi
sebuah agenda. Tetapi sebaliknya, semakin sebuah masyarakat mengalami
kemandegan atau mengalami kemajuan untuk menjadi lebih tradisional, semakin
cepat pula fundamentalis menciptakan kemunduran, yang secara religius sesuai
dengan ajaran-ajaran yang mereka sebarkan. Ini khususnya berlaku bagi
ajaran-ajaran yang tidak bersahabat dengan perempuan.
Selama dua dekade terakhir, perempuan
telah mencurahkan segala usaha untuk meraih kembali, sedikit demi sedikit, lahan-lahan
yang telah hilang dari mereka sepanjang kebijakan-kebijakan re-islamisasi di
Iran, Sudan dan Pakistan. Perempuan ini menuntut kembali kemanusiaan mereka,
berjuang untuk mengubah struktur-struktur dan relasi-relasi kekuasaan gender.
Kondisi perempuan dalam kebudayaan-kebudayaan islam harus dipahami secara
dialektis, seperti perlawanan gigih mereka melawan kekuatan-kekuatan sosial,
ekonomi dan politik yang menghambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar