I.
PENDAHULUAN
Seperti telah kita ketahui, Behaviorisme
adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Waston pada
tahun 1931. Sama halnya dengan psikoanalisa, behaviorisme juga merupakan aliran
yang revolusioner, kuat dan berpengaruh serta memiliki akar sejarah yang cukup
dalam.
Sejumlah filosof dan ilmuan sebelum Waston dalam satu dan lain
bentuk telah mengajukan gagasan-gagasan mengenai pendekatan objektif dalam
mempelajari manusia berdasarkan pandangan yang mekanistik dan materialistis,
suatu pendekatan yang menjadi ciri utama dari behaviorisme. Seorang diantaranya
adalah Ivan Pavlon (1849-1936), seorang ahli fisiologi Rusia.
Setiap mahasiswa psikologi pasti
mengenal nama Ivan Pavlov, dengan percobaannya mengenai pengondisian klasik
(classical conditioning). Percobaan Pavlov mengenai pengondisian klasik ini,
yang prosedur lengkapnya akan dibahas dalam uraian selanjutnya, telah
mengilhami Waston untuk mengembangkan behaviorisme. Di tangan Waston,
pengondisian klasik Pavlonv menjadi kunci untuk menerangkan tingkah laku
manusia dalam pendekatan yang objektif dan ilmiah.
Penekanan Waston atas pengondisian,
dalam kerangka kerja behaviorisme, telah mendorong lahirnya sejumlah gagasan
dan studi ilmiah mengenai proses belajar atau pembelajaran (learning), dan
pembelajaran ini menjadi titik perhatian utama para behavioris hingga kini. Dan
dengan dirangsang oleh pemikiran para pemikir besar seperti seperti Edwin
Guthrie (1886-1959), Clark Hull (1884-1952), dan Edward Tolman (1886-1959),
para behavioris telah berhasil memperjelas dan menyempurnakan gagasan mengenai
pembelajaran yang kemudian menjadi landasan yang kokoh bagi berbagai kegiatan
praktis seperti pendidikan, pekerjaan atau bisnis, dan psikoterapi.
Dalam bab ini kita akan membahas
teori kepribadian behaviorisme dengan menampilkan B.F. Skinner dengan sejumlah
gagasan pokoknya, dengan alasan bahwa Skinner adalah seorang tokoh behaviorisme
yang paling produktif menemukakan gagasan dan penelitian, paling berpengaruh,
serta paling berani dan tegas dalam menjawab tantangan dan kritik-kritik atas
behaviorisme.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Teori behaviorisme
B. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan
tingkah laku
C. Percobaan tentang behaviorisme
III.
PEMBAHASAN
A.
Teori Behaviorisme
Behaviorisme adalah: teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur,
diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan
terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif
terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan
dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan
menjelaskan tindakan yang diinginkan.[2]
Ciri dari teori behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian
kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan
pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan
mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut
pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.[3]
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan
teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah
untuk memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata
atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai
pendidikannya sendiri.[4]
Ada beberapa tokoh teori behaviorisme. Tokoh-tokoh aliran behavioristik
tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie,
dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran
behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran:
1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati
(observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi
tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan
hidup.
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontinguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi.
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara
sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus
dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang
dihasilkan.[5]
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang
membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: Kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan
bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan
sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan,
suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi
permen atau pujian.[6]
B.
Psikologi Sebagai Ilmu Pengetahuan Tingkah Laku
Dalam
pendekatannya terhadap studi tentang manusia, Skinner beranggapan bahwa seluruh
tingkah laku ditemukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dibawa ke
dalam kontrol lingkungan atau bisa dikendalikan. Memahami tingkah laku adalah
dengan mengendalikannya, dan sebaliknya. Dengan tegas Skinner menolak anggapan
bahwa manusia adalah makhluk yang bebas berkehendak, atau anggapan bahwa
tingkah laku bisa muncul tanpa sebab. Manusia, dengan sistem-sistemnya, adalah
mesin yang rumit. Meski Skinner bukan ahli psikologi pertama yang mengujukan
pendekatan mekanistis dalam mempelajari manusia (Watson, pendiri behaviorisme,
menganjurkan rekan-rekannya sesama ahli psikologi untuk membuang konsep-konsep
mentalistik pada tahun 1920-an), formulasinya merupakan kekecualian yang luar
biasa dalam arti, bahwa Skinner membawa gagasan-gagasnnya, kepada
kesimpulan-kesimpulan logika. Bagi Skinner, ilmu pengetahuan tentang tingkah
laku manusia, yakni psikologi, pada dasarnya tidak berbeda dengan ilmu
pengetahuan lainnya yang berorientasi kepada data.
Tujuan ilmu-ilmu
pengetahuan itu sama, yakni meramalkan dan mengendalikan fenomena yang
dipelajari (dalam psikologi Skinner, fenomena yang dipelajari itu adalah
tingkah laku yang nampak). Skinner menambahkan bahwa seluuh ilmu pengetahuan
berkembang dai sederhana menuju kompleks, dan oleh karenanya logis mempelajari
infahuman (tikus atau merpati) sebelum mempelajari manusia.
Keuntungan
lainnya adalah, peneliti bisa mengusahakan pengendalian yang lebih akurat atas
kondisi-kondisi yang mempengaruhi lingkungan hewan, serta bisa mengumpulkan
data dalam waktu singkat. Dari sini terdapat satu pertanyaan yang serius:
seberapa jauh penemuan yang dioeroleh dari penelitian atas suatu species (tikus misalnya) sungguh-sungguh
bisa diterapkan pada species lainnya,
(manusia). Bagaimanapun, Skinner bersikeras mempertahankan penggunaan hewan
sebagai subjek penelitiannya, sebab ia percaya bahwa antara prinsip-prinsip
tingkah laku hewan dan penerapannya pada manusia terdapat hubungan yang nyata.
Berbeda
dengan peneliti di bidang psikologi, Skinner melakukan kegiatan penelitian
dengan menekankan pada analisis yang seksama atas tingkah laku organisme
tunggal, dengan keyakinan bahwa hukum-hukum yang menguasai organisme tunggal
itu identik dengan hukum-hukum yang menguasai organisme-organisme lainnya.
Jadi, dalam pandangan Skinner, hukum-hukum yang menguasai tingkah laku tikus
bisa ditemukan pada merpati atau manusia.
Orientasi
penelitian Skinner ini, yang sering disebut rancangan eksperiment subjek
tunggal, tidak memerlukuan teknik-teknik statistik, ketimbang membuat
peramalan-peramalan statistik mengenai tingkah laku individu rata-rata yang
tidak ada atau tidak nampak, Skinner berpendapat bahwa psikologi sebaliknya
mengupayakan peramalan dan penentuan secara eksperimental pengaruh dari satu
atau lebih variabel yang dikendalikan atas komponen tertentu dari tingkah laku
organisme dalam lingkungan yang terkendali. Pendekatan seperti ini memerlukan
strategi nonstatistik yang mehasilkan hukum-hukum yang relevan dengan tingkah
laku individu nyata.
Dengan
pendekatan behavioristiknya, Skinner mempertahankan analisis fungsional atas
tingkah laku organisme. Dengan analisis ahli didorong untuk membentuk kaitan
yang pasti, nyata, dan dapat diperinci antara tingkah laku orgasisme yang dapat
diamati (respons) dan kondisi-kondisi lingkungan (stimulus) yang menentukan
atau mengendalikannya.
Variabel-variabel
yang dipakai harus eksternal, bisa dilihat dan didefinisikan dalam
istilah-istilah yang kuantitatif. Demikianlah kaitan sebab kaitan sebab-akibat
yang muncul dari analisis fungsional yang menjadi hukum dari ilmu pengetahuan
tingkah laku. Tujuan praktisnya adalah bisa memanipulasi variabel-variabel
lingkungan (independent variable) sebagai pangkal tolak pembuatan
peramalan-peramalan, dan kemudian peneliti mengukur perubahan tingkah laku yang
dihasilkan (dependent variable). [7]
C.
Percobaan tentang behaviorisme
Ivan Pavlov,
seorang physiolog Rusia, telah menyelidiki cara bekerjanya kelenjar ludah.
Penyelidikannya ini berhasil dengan sangat baik, sehingga pada tahun 1905, ia
mendapat hadiah Nobel untuk ilmu physiologie “refleks”.
Dari hasil
penyelidikannya ia ingin pula membawanya kedalam ilmu jiwa. Oleh karena itu
maka ilmu jiwanya disebut: Psychorefleksologie, yang sebenarnya lebih tepat
Physiorefleksologie. Percobaan-percobaan yang telah dilakukan, adalah sebagai
berikut:
Seekor
anjing dibiarkanya lapar. Dimasukkan kedalam kandang tetapi diusahakan agar
anjing itu dengan mudah dapat melihat perangsang yang diberikan oleh pencoba,
yang diletakkan di luar kandang. Kelenjar air ludah itu dioperasi dan
diletakkan di luar mulutnya, dan diusahakan agar air liur yang keluar kalau ia mendapat perangsang,
dapat ditampung dan diukur dengan teliti.
Sipencoba, mula-mula memberi
perangsang makanan dari anjing itu. Sesudah itu liur yang keluar diukur dengan
teliti. Percobaan itu diulang disebuah kamar yang gelap. Bersama dengan
perangsang makanan itu si pencoba memancarkan seberkas cahaya yang terang.
Anjing itu tetap mereaksi refleksi dengan liurnya, dan ternyata liur itu sama
banyak pula. Beberapa kali percobaan semacam ini diulangi. Dan hasilnya sama.
Kemudian perangsang yang diberikan
kepada anjing itu hanya seberkas cahaya saja, yang berwarna merah. Anjing itu
tetap mereaksi dengan kekuatan yang sama, meskipun perangsang hanya cahaya.
Tetapi apabila perangsang itu diganti dengan misalnya cahaya hijau, maka anjing
itu tidak mereaksi apa-apa. [8]
Dari percobaan ini Pavlov menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perangsang bersyarat (perangsang buatan,
perangsang tidak wajar pun) dapat menimbulkan reaksi bersyarat (tidak wajar).
Yang sama kuatnya dengan perangsang wajar. Reaksi yang timbul itu bersifat
refleksif, karena itu reflek ini disebut reflek bersyarat.
2. Kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat
mereaksi bersyarat, apabila dilatih berulang-ulang secara teratur, didressur.
3. Dengan Dressur, maka binatang dapat
menari, melihat warna dan sebagainya seperti perbuatan-perbuatan manusia.
4. Ilmu jiwa yang berobjekkan kesadaran
tentu tidak akan berhasil baik dikemudian hari. Ia harus borobjekkan kepada
segala yang tampak oleh indera, dari luar.
Jadi
Psychorefleksologie, hanya berobjek kepada apa yang tampak dari luar, yaitu
tingkah laku. Maka dari itulah ia mempercepat perkembangan Behaviorisme di
Amerika. [9]
Untuk
Waston mengadakan percobaan dengan seorang anak. Kepada anak yang berumur 11
bulan diberikannya seekor tikus dan seekor kelinci. Anak itu tidak takut. Ia
bermain-main dengan binatang itu.
Lain waktu
tikus itu diberikannya lagi, tetapi ketika anak hendak menangkapnya,
dibunyikanlah sebuah gong dengan sangat kuatnya dan sekonyong-konyong. Anak itu
berlari sambil berteriak.
Sesudah
itu anak itu lari lagi, sesudah dilihatnya seekor tikus. Kemudian, sedang anak
itu makan itu makan dengan enaknya, didekatkannya tikus itu didalam suasana
riang, senyum dan gembira. Ternyata anak itu tidak takut lagi kepada tikus itu.
Dari percobaan ini Waston menarik
kesimpulan bahwa:
Rasa takut
kepada tikus, kelinci, cacing dan sebagainya. Pada anak sebenarnya tidak ada.
Hanya pendidikanlah yang menyebabkannya. Yaitu dengan mengkondisikan refleks
(mensyaratkan). Dan dapat dihilangkan lagi dengan mengkondisikan kembali.
Teranglah disini bahwa pendidikan adalah Maha Kuasa. Pendidikan selalu optimis
terhadap hasil usahanya.[10]
Dari
seluruh uraian tentang Behaviorisme terdapat aliran didalam perkembangan ilmu
jiwa yang mempunyai arti:
·
Mempercepat kemenangan ilmu jiwa gestalt. Sebab
Behaviorisme memandang manusia sebagai suatu organisme yang mereaksi secara
keseluruhan terhadap perangsang dari luar.
·
Behaviorisme mempunyai arti yang penting pula di dalam
ilmu jiwa hewan dan anak-anak. Karena objek ini tidak dapat diselidiki dengan
metode-metode yang lain kecuali dengan metode observasi.
·
Behaviorisme memberi harapan baik kepada kaum
pendidik, meskipun sebenarnya tidak boleh terlalu optimis, karena sebenarnya
pendidik bukanlah seorang yang maha kuasa.[11]
IV.
KESIMPULAN
Behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan
keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan
manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang
dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Studi tentang kepribadian melibatkan
pengujian yang sistematis dan pasti atas sejarah hidup atau pengalaman belajar
dan latar belakang genetik atau faktor bawaan yang khas dari individu. Dia
bukanlah agen penyabab tingkah laku, melainkan tempat kedudukan atau suatu point di mana faktor-faktor lingkungan
dan bawaan yang khas secara bersama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang
khas pula pada individu tersebut.
[1]E. Koswara.
Teori-Teori Kepribadian. Hlm:69
[2] http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme
[5] http://www.scumdoctor.com/psychology/behaviorism/Theory-And-Definition-Of-Behaviorism.html
[7] E.
Koswara. Op.cit., hlm. 75-77
[8] Drs. Agus
Sujanto. Psikologi Umum. Hlm.126
[9] Ibid
hlm.126-127
[10] Ibid hlm.135
[11] Ibid hlm.136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar