Selamat Datang di Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Blog ini merupakan hasil matakuliah Teknologi Komunikasi dan Informasi, namun tidak menutup kemungkinan Blog ini akan terus berkembang untuk kemajuan Dakwah Islam. Terima kasih atas kunjungannya dan selamat menikmati bacaan yang ada. Semoga Bermanfaat. Amin

Selasa, 26 Juni 2012

Behaviorisme (Tingkah Laku)


I.     PENDAHULUAN

Seperti telah kita ketahui, Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Waston pada tahun 1931. Sama halnya dengan psikoanalisa, behaviorisme juga merupakan aliran yang revolusioner, kuat dan berpengaruh serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam.
Sejumlah filosof  dan ilmuan sebelum Waston dalam satu dan lain bentuk telah mengajukan gagasan-gagasan mengenai pendekatan objektif dalam mempelajari manusia berdasarkan pandangan yang mekanistik dan materialistis, suatu pendekatan yang menjadi ciri utama dari behaviorisme. Seorang diantaranya adalah Ivan Pavlon (1849-1936), seorang ahli fisiologi Rusia.
Setiap mahasiswa psikologi pasti mengenal nama Ivan Pavlov, dengan percobaannya mengenai pengondisian klasik (classical conditioning). Percobaan Pavlov mengenai pengondisian klasik ini, yang prosedur lengkapnya akan dibahas dalam uraian selanjutnya, telah mengilhami Waston untuk mengembangkan behaviorisme. Di tangan Waston, pengondisian klasik Pavlonv menjadi kunci untuk menerangkan tingkah laku manusia dalam pendekatan yang objektif dan ilmiah.
Penekanan Waston atas pengondisian, dalam kerangka kerja behaviorisme, telah mendorong lahirnya sejumlah gagasan dan studi ilmiah mengenai proses belajar atau pembelajaran (learning), dan pembelajaran ini menjadi titik perhatian utama para behavioris hingga kini. Dan dengan dirangsang oleh pemikiran para pemikir besar seperti seperti Edwin Guthrie (1886-1959), Clark Hull (1884-1952), dan Edward Tolman (1886-1959), para behavioris telah berhasil memperjelas dan menyempurnakan gagasan mengenai pembelajaran yang kemudian menjadi landasan yang kokoh bagi berbagai kegiatan praktis seperti pendidikan, pekerjaan atau bisnis, dan psikoterapi.
Dalam bab ini kita akan membahas teori kepribadian behaviorisme dengan menampilkan B.F. Skinner dengan sejumlah gagasan pokoknya, dengan alasan bahwa Skinner adalah seorang tokoh behaviorisme yang paling produktif menemukakan gagasan dan penelitian, paling berpengaruh, serta paling berani dan tegas dalam menjawab tantangan dan kritik-kritik atas behaviorisme.[1]



II.   RUMUSAN  MASALAH
A.      Teori behaviorisme
B.       Psikologi sebagai ilmu pengetahuan tingkah laku
C.       Percobaan tentang behaviorisme

III.   PEMBAHASAN

A.    Teori Behaviorisme
Behaviorisme adalah: teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.[2]
Ciri dari teori behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.[3]
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.[4]
Ada beberapa tokoh teori behaviorisme. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran:
1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup.
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontinguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan.[5]
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.[6]

B.     Psikologi Sebagai Ilmu Pengetahuan Tingkah Laku
Dalam pendekatannya terhadap studi tentang manusia, Skinner beranggapan bahwa seluruh tingkah laku ditemukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dibawa ke dalam kontrol lingkungan atau bisa dikendalikan. Memahami tingkah laku adalah dengan mengendalikannya, dan sebaliknya. Dengan tegas Skinner menolak anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas berkehendak, atau anggapan bahwa tingkah laku bisa muncul tanpa sebab. Manusia, dengan sistem-sistemnya, adalah mesin yang rumit. Meski Skinner bukan ahli psikologi pertama yang mengujukan pendekatan mekanistis dalam mempelajari manusia (Watson, pendiri behaviorisme, menganjurkan rekan-rekannya sesama ahli psikologi untuk membuang konsep-konsep mentalistik pada tahun 1920-an), formulasinya merupakan kekecualian yang luar biasa dalam arti, bahwa Skinner membawa gagasan-gagasnnya, kepada kesimpulan-kesimpulan logika. Bagi Skinner, ilmu pengetahuan tentang tingkah laku manusia, yakni psikologi, pada dasarnya tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya yang berorientasi kepada data.
Tujuan ilmu-ilmu pengetahuan itu sama, yakni meramalkan dan mengendalikan fenomena yang dipelajari (dalam psikologi Skinner, fenomena yang dipelajari itu adalah tingkah laku yang nampak). Skinner menambahkan bahwa seluuh ilmu pengetahuan berkembang dai sederhana menuju kompleks, dan oleh karenanya logis mempelajari infahuman (tikus atau merpati) sebelum mempelajari manusia.
Keuntungan lainnya adalah, peneliti bisa mengusahakan pengendalian yang lebih akurat atas kondisi-kondisi yang mempengaruhi lingkungan hewan, serta bisa mengumpulkan data dalam waktu singkat. Dari sini terdapat satu pertanyaan yang serius: seberapa jauh penemuan yang dioeroleh dari penelitian atas suatu species (tikus misalnya) sungguh-sungguh bisa diterapkan pada species lainnya, (manusia). Bagaimanapun, Skinner bersikeras mempertahankan penggunaan hewan sebagai subjek penelitiannya, sebab ia percaya bahwa antara prinsip-prinsip tingkah laku hewan dan penerapannya pada manusia terdapat hubungan yang nyata.
Berbeda dengan peneliti di bidang psikologi, Skinner melakukan kegiatan penelitian dengan menekankan pada analisis yang seksama atas tingkah laku organisme tunggal, dengan keyakinan bahwa hukum-hukum yang menguasai organisme tunggal itu identik dengan hukum-hukum yang menguasai organisme-organisme lainnya. Jadi, dalam pandangan Skinner, hukum-hukum yang menguasai tingkah laku tikus bisa ditemukan pada merpati atau manusia.
Orientasi penelitian Skinner ini, yang sering disebut rancangan eksperiment subjek tunggal, tidak memerlukuan teknik-teknik statistik, ketimbang membuat peramalan-peramalan statistik mengenai tingkah laku individu rata-rata yang tidak ada atau tidak nampak, Skinner berpendapat bahwa psikologi sebaliknya mengupayakan peramalan dan penentuan secara eksperimental pengaruh dari satu atau lebih variabel yang dikendalikan atas komponen tertentu dari tingkah laku organisme dalam lingkungan yang terkendali. Pendekatan seperti ini memerlukan strategi nonstatistik yang mehasilkan hukum-hukum yang relevan dengan tingkah laku individu nyata.
Dengan pendekatan behavioristiknya, Skinner mempertahankan analisis fungsional atas tingkah laku organisme. Dengan analisis ahli didorong untuk membentuk kaitan yang pasti, nyata, dan dapat diperinci antara tingkah laku orgasisme yang dapat diamati (respons) dan kondisi-kondisi lingkungan (stimulus) yang menentukan atau mengendalikannya.
Variabel-variabel yang dipakai harus eksternal, bisa dilihat dan didefinisikan dalam istilah-istilah yang kuantitatif. Demikianlah kaitan sebab kaitan sebab-akibat yang muncul dari analisis fungsional yang menjadi hukum dari ilmu pengetahuan tingkah laku. Tujuan praktisnya adalah bisa memanipulasi variabel-variabel lingkungan (independent variable) sebagai pangkal tolak pembuatan peramalan-peramalan, dan kemudian peneliti mengukur perubahan tingkah laku yang dihasilkan (dependent variable).  [7]

C.    Percobaan tentang behaviorisme
Ivan Pavlov, seorang physiolog Rusia, telah menyelidiki cara bekerjanya kelenjar ludah. Penyelidikannya ini berhasil dengan sangat baik, sehingga pada tahun 1905, ia mendapat hadiah Nobel untuk ilmu physiologie “refleks”.
Dari hasil penyelidikannya ia ingin pula membawanya kedalam ilmu jiwa. Oleh karena itu maka ilmu jiwanya disebut: Psychorefleksologie, yang sebenarnya lebih tepat Physiorefleksologie. Percobaan-percobaan yang telah dilakukan, adalah sebagai berikut:
Seekor anjing dibiarkanya lapar. Dimasukkan kedalam kandang tetapi diusahakan agar anjing itu dengan mudah dapat melihat perangsang yang diberikan oleh pencoba, yang diletakkan di luar kandang. Kelenjar air ludah itu dioperasi dan diletakkan di luar mulutnya, dan diusahakan agar air liur yang keluar kalau ia mendapat  perangsang, dapat ditampung dan diukur dengan teliti.
Sipencoba, mula-mula memberi perangsang makanan dari anjing itu. Sesudah itu liur yang keluar diukur dengan teliti. Percobaan itu diulang disebuah kamar yang gelap. Bersama dengan perangsang makanan itu si pencoba memancarkan seberkas cahaya yang terang. Anjing itu tetap mereaksi refleksi dengan liurnya, dan ternyata liur itu sama banyak pula. Beberapa kali percobaan semacam ini diulangi. Dan hasilnya sama.
Kemudian perangsang yang diberikan kepada anjing itu hanya seberkas cahaya saja, yang berwarna merah. Anjing itu tetap mereaksi dengan kekuatan yang sama, meskipun perangsang hanya cahaya. Tetapi apabila perangsang itu diganti dengan misalnya cahaya hijau, maka anjing itu tidak mereaksi apa-apa. [8]
Dari percobaan ini Pavlov menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Perangsang bersyarat (perangsang buatan, perangsang tidak wajar pun) dapat menimbulkan reaksi bersyarat (tidak wajar). Yang sama kuatnya dengan perangsang wajar. Reaksi yang timbul itu bersifat refleksif, karena itu reflek ini disebut reflek bersyarat.
2.    Kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat mereaksi bersyarat, apabila dilatih berulang-ulang secara teratur, didressur.
3.    Dengan Dressur, maka binatang dapat menari, melihat warna dan sebagainya seperti perbuatan-perbuatan manusia.
4.    Ilmu jiwa yang berobjekkan kesadaran tentu tidak akan berhasil baik dikemudian hari. Ia harus borobjekkan kepada segala yang tampak oleh indera, dari luar.
Jadi Psychorefleksologie, hanya berobjek kepada apa yang tampak dari luar, yaitu tingkah laku. Maka dari itulah ia mempercepat perkembangan Behaviorisme di Amerika. [9]
Untuk Waston mengadakan percobaan dengan seorang anak. Kepada anak yang berumur 11 bulan diberikannya seekor tikus dan seekor kelinci. Anak itu tidak takut. Ia bermain-main dengan binatang itu.
Lain waktu tikus itu diberikannya lagi, tetapi ketika anak hendak menangkapnya, dibunyikanlah sebuah gong dengan sangat kuatnya dan sekonyong-konyong. Anak itu berlari sambil berteriak.
Sesudah itu anak itu lari lagi, sesudah dilihatnya seekor tikus. Kemudian, sedang anak itu makan itu makan dengan enaknya, didekatkannya tikus itu didalam suasana riang, senyum dan gembira. Ternyata anak itu tidak takut lagi kepada tikus itu.
Dari percobaan ini Waston menarik kesimpulan bahwa:
Rasa takut kepada tikus, kelinci, cacing dan sebagainya. Pada anak sebenarnya tidak ada. Hanya pendidikanlah yang menyebabkannya. Yaitu dengan mengkondisikan refleks (mensyaratkan). Dan dapat dihilangkan lagi dengan mengkondisikan kembali. Teranglah disini bahwa pendidikan adalah Maha Kuasa. Pendidikan selalu optimis terhadap hasil usahanya.[10]
Dari seluruh uraian tentang Behaviorisme terdapat aliran didalam perkembangan ilmu jiwa yang mempunyai arti:
·           Mempercepat kemenangan ilmu jiwa gestalt. Sebab Behaviorisme memandang manusia sebagai suatu organisme yang mereaksi secara keseluruhan terhadap perangsang dari luar.
·           Behaviorisme mempunyai arti yang penting pula di dalam ilmu jiwa hewan dan anak-anak. Karena objek ini tidak dapat diselidiki dengan metode-metode yang lain kecuali dengan metode observasi.
·           Behaviorisme memberi harapan baik kepada kaum pendidik, meskipun sebenarnya tidak boleh terlalu optimis, karena sebenarnya pendidik bukanlah seorang yang maha kuasa.[11]

IV.   KESIMPULAN
Behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar  behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Studi tentang kepribadian melibatkan pengujian yang sistematis dan pasti atas sejarah hidup atau pengalaman belajar dan latar belakang genetik atau faktor bawaan yang khas dari individu. Dia bukanlah agen penyabab tingkah laku, melainkan tempat kedudukan atau suatu point di mana faktor-faktor lingkungan dan bawaan yang khas secara bersama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang khas pula pada individu tersebut.




[1]E. Koswara. Teori-Teori Kepribadian. Hlm:69
[2] http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme
[3] https://www.msu.edu/~purcelll/behaviorism%20theory.htm
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik

[5] http://www.scumdoctor.com/psychology/behaviorism/Theory-And-Definition-Of-Behaviorism.html
[6] http://www.funderstanding.com/content/behaviorism


[7] E. Koswara. Op.cit., hlm. 75-77
[8] Drs. Agus Sujanto. Psikologi Umum. Hlm.126
[9] Ibid hlm.126-127
[10] Ibid hlm.135
[11] Ibid hlm.136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar