Bimbingan
Konseling Terhadap Anak Jalanan
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan
sosial yang komplek.hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan
yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak berbasa depan
jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak,
keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan
tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita.
Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga
tumbuh kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab, dan bermasa
depan cerah.
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di
jalanan atau ditempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut : berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kkegiatan atau
berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak
terurus, mobilitas tinggi.
Munculnya anak jalanan diakibatkan keterpurukan ekonomi yang
dialami oleh masyarakat yang mengakibatkan banyak yang kehilangan pekerjaan dan
tidak mampu membiayai keluarganya secara material, sehingga anak-anak yang
seharusnya duduk dibangku sekolah ataupun bermain dituntut untuk turun ke jalan
dan membantu orang tua mereka mencari nafkah.
Di Indonesia, menurut hukum adat, anak sering dikatakan
minderjaring heid (bawah umur), yaitu apabila seseorang berada dalam
keadaan dikuasai oleh orang lain, seperti dikuasai oleh orang tuanya , maka ia
dikuasai oleh walinya (voodg). Jadi selama seseorang masih dikategorikan
anak-anak, seharusnya masih dalam tanggung jawab orang tua wali ataupun Negara
tempat si anak tersebut menjadi negara tetap.
Anak jalanan dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu :
·
Anak-anak
yang tidak berhubungan lagi dengan orng tuanya (children of the street). Mereka
tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semu fasilitas jalanan sebagai ruang
hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok ini disebabkan oleh
faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan,
penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali kerumah,
kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.
·
Anak-anak
yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang
bekerja di jalanan (children on the street). Mereka sering kali diidentikan
sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di
kampung. Pada umumnya mereka bekerja di pagi sampai sore hari seperti menyemir
sepatu, pengasong, pengamen tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat
tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman
senasibnya.
·
Anak-anak
yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang
tuanya, beberapa jam dijalana sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke
jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh
orang tua. Aktifitas mereka yang mencolok adalah berjualan koran.
·
Anak-anak jalanan yang berusia diatas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum kurban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya memcuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.
Anak-anak jalanan yang berusia diatas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum kurban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya memcuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.
Anak-anak yang hidup dijalanan, sangat rentan mendapat perlakuan
kekerasan dan eksploitasi. Sudah menjadi hukum dijalanan, siapa yang kuat
merekalah yang menang. Masa anak-anak yang mestinya dihiasi dengan keceriaan
dan kemajuan, terpaksa harus berjuang sendirian mempertahankan hidup. Fisik dan
jiwa mereka masih rentan, secara terpaksa harus berhadapan dengan dunia yang
keras dan kejam, yaitu dunia jalan.
Terkait dengan kondisi tersebut, permasalahan anak jalanan sudah
merupakan permasalahan kursial yang harus ditangani sampai ke akar-akarnya.
Sebab jika permasalahannya ditangani di permukaan saja, maka setiap saat
permasalahan tersebut akan muncul dan muncul kembali, serta menyebabkan
timbulnya permasalahan lain yang justru lebih kompleks. Seperti munculnya orang
dewasa jalanan, kriminalitas, premanisasi, eksploitasi tenaga, eksploitasi
seksual, penyimpangan perilaku. Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka
akan menimbulkan ancaman bagi kelangsungan masa depan anak itu sendiri bahkan
akan sangat membahayakan masa depan bangsa kita karena rendahnya kualitas
pemuda Indonesia.
Depdiknas tahun 2000 tentang sejumlah orang yang tidak sekolah.
Sedikitnya 7,2 juta anak Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah.
Jawabannya sangat jelas karena tidak adanya uang untuk biaya sekolah.
Kemiskinan apapun sebabnya membuat akses pada sekolah menjadi sempit. Mereka
yang bergerak untuk melakukan pendidikan alternatif atau yang punya keinginan
untuk mengasuh sejumlah anak jalanan agar tahu huruf dan mencium bau sekolah.
Kegiatan yang patut dihargai meski soalnya pada kekuatan negara, yang malas
untuk mengurus pendidikan.
Krisis moneter yang berlanjut dengan krisis
ekonomi, kemudian meluas menjadi krisis multidimensi, mengakibatkan semakin
banyak anak-anak usia sekolah terkena dampaknya. Banyak diantara mereka tidak
bersekolah lagi, karena orang tua mereka terkena pemutusan hubungan kerja. Ada
korelasi kuat semakin luasnya krisis ekonomi diikuti pula oleh makin banyaknya
anak-anak tidak berada di ruang sekolah lagi. Pada jam-jam sekolah, mereka
berhamburan di mana-mana, bahkan di jalanan. Tidak bisa tidak, angka anak
jalanan meningkat tajam. Menurut hasil penelitian Badan Pelatihan dan
Pengembangan Sosial Depsos (2003), penanganan anak jalanan di seluruh wilayah
Indonesia belum memiliki pola dan pendekatan yang tepat dan efektif. Keberadaan
Rumah Singgah misalnya, dinilai kurang efektif karena tidak menyentuh akar
persoalan yaitu kemiskinan dalam keluarga “(Kompas, 26 Pebruari 2003). Hal ini
bisa kita lihat dari pola asuh yang cenderung konsumtif. Tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara keluarga mereka tidak diberdayakan.
Ada beberapa usaha
untuk membantu mereka keluar dari keidupan jalanan. Tapi usaha itu terhalang
karena itu tadi : Uang yang gampang didapat lewat ngemis. Beberapa anak jalanan
yang dibina di rumah singgah dengan diberi bimbingan pendidikan, ketrampilan
dan pemberian kesempatan kerja. Ironisnya, mereka hanya bertahan beberapa bulan
lalu kembali ke jalan.
Beberapa anak yang
disekolahkan dan ditanggung biaya hidupnya juga balik lagi ke jalanan. Waktu
ditanya, jawabannya adalah karena memang lebih enak dan gampang mendapatkan
uang di jalanan. Daripada kerja atau, apalagi, kembali sekolah. Kesimpulannya,
uang yang kita berikan ke mereka berdampak mengerikan bagi nasib si anak
jalanan. Secara tidak langsung dengan uang itu kita sudah menginvestasikan
kemalasan, kebodohan, peningkatan kriminalitas, sampai masa depan suram bagi
anak-anak yang dikasih uang itu. Kita perlu sebuah kesadaran baru untuk tidak
memberi uang secara langsung sama anak jalanan. Tapi memberi mereka kesempetan.
Ada beberapa pilihan untuk kesempatan yang dibutuhkan anak jalanan: Misalnya
pendampingan. Anak jalanan ngerasa bahwa mereka adalah mahluk yang tersisih dan
nggak dicintai. Maka ketimbang sekedar memberi uang, kita lebih dibutuhkan
untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka. Uang kita ganti dengan waktu yang
kita sediakan untuk mendampingi mereka. Pilihan kedua, kita bisa membantu
mereka dalam pendampingan bimbingan belajar, atau memberi kesempatan mereka
untuk sekolah lagi dengan beasiswa, atau bimbingan untuk mengikutsertakannya
dalam ujian pesamaan untuk anak yang sudah melewati batas usia sekolah. Uang
yang akan kita berikan ke mereka sebaiknya di”konversi” menjadi beasiswa.
Agar dapat memberikan
sebuah konseling yang baik dan benar terhadap anak jalanan usia
sekolah kita harus mengerti tentang:
Ø
Pengertian anak jalanan,
Ø
Mengapa Anak Jalanan Enggan Bersekolah,
Ø
Alasan anak Jalanan Kehilangan Motivasi Belajar,
Ø
Tujuan Pendidkan,
Ø
Pentingnya
pendidikanbagi semua orang, dan
Ø
Cara yang efektif untuk membangun kesadaran
belajar terhadap anak jalanan usia sekolah.
Berkenaan dengan kegiatan
konseling kita sebagai
konselor juga ikut andil dalam memajukan pendidikan di Negara Indonesia, baik
anak jalanan usia sekolah maupun dalam sekolah. Untuk itu kita juga harus
mengerti dan memahami alasan anak jalanan tidak bersekolah.
Salah satu strategi pendekatan
yang mungkin dapat dilakukan adalah pemberian bimbingan kelompok kepada anak jalanan
tersebut. Bimbingan kelompok berguna untuk membantu anak jalanan menemukan
dirinyasendiri, mengarahkan diri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Disamping itu pemberian
bimbingan kelompok juga memberikan kesempatan
kepada anak jalanan
untuk belajar hal-hal penting yang berguna bagi pengarahandirinya yang
berkaitan dengan masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial. Dengan
adanya pemberian bimbingan kelompok kepada anak jalanan diharapkan dapat
merubah paradigma anak jalanan untuk kembali melanjutkan pendidikannya
agar terciptanya pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan Ilmu
ekonomi berpandangan apapun yg dilakukan sesorang atau sekelompok orang
umumnya selalu dilakukan berdasarkan pertimbangan untung-rugi. Dengan kata lain ilmu ekonomi berpandangan bahwa
anak-anak jalanan pun bertindak rasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar