PEMBAHASAN KATA (LOGIKA)
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra pesisiran
sebagai bagian dari sastra Jawa memiliki kaitan erat dengan proses perkembangan
kehidupan keagamaan karena pada dasarnya kehidupan sehari-hari masyarakat tak
dapat dilepaskan dari kerangka agama. Ia biasanya
diidentifikasikan sebagai karya sastra yang berkaitan erat dengan proses
Islamisasi Jawa yang memakan waktu cukup lama serta berlangsung dengan damai.
Karya-karya ynag muncul dari
kalangan penulis memperlihatkan warna agama yang begitu dominan, bahkan ada
kecenderungan ke arah mempertahankan unsur legalistik dalam agama dari
kemungkinan masuknya elemen-elemen yang dianggap mengandung unsur menyesatkan.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian sastra secara istilah dan
menurut para sastrawan ?
b. Bagaimana perkembangan sastra hasil interelasi Islam
dan Jawa ?
c. Bagaimana aspek keterkaitan Islam
terhadap sastra Jawa itu sendiri ?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Sastra
‘Sastra’ sebagai istilah yang
menunjukkan pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori
sastra (membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur
yang membentuk suatru karya sastra, jenis-jenis sastra, dan perkembangan
pemikiran sastra), sejarah sastra (membicarakan dinamika tentang sastra,
pertumbuhan/perkembangan suatu karya satra, tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari
masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra, termasuk karya sastra yang
menonjol dari aliran-aliran yang mendasari suatu karya sastra terkait dengan
kondisi ideologi dan sosial yang mempengaruhinya), kritik sastra (membicarakan
mengenai pemahaman, penafsiran, penilaian, dan penghayatan terhadap suatu karya
sastra).[1]
Menurut Teeuw (1984 : 23) mengemukakan
bahwa kata ‘sastra’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta,
berasal dari akar kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti
‘mengarahkan, mengajar, member petunjuk/instruksi’. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada
alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku
instruksi atau pengajaran. Biasanya kata satra diberi awalan ‘su’ (menjadi
susastra). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti
pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal
yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ (tulisan yang
indah dan sopan).
Istilah ‘sastra’ dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah literature
(latin=litere) yang menunjuk pada karya tulis atau karya tulis yang dicetak
(sebanarnya juga termasuk karya sastra yang tidak hanya tertulis, tetapi juga
yang tertulis/lisan).
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren
(1993 : 3 dan 11) mengemukakan bahwa ‘sastra’ merupakan suatu kegiatan kreatif
atau sebuah karya seni, yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun yang
tercetak, termasuk karya sastra lisan. Jadi, istilah ‘sastra’ yang terkait
dengan suatu karya (karya sastra) merupakan suatu tulisan (karya) yang sifatnya
imajinatif (imajinative literature)
yang diterapkan pada (umumnya) dalam seni sastra.[2]
Sebagai bahan dasar sastra
(kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang
berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari. Rene
Wellek dan Austin Warren (1993 :15-17) mengemukakan bahwa bahasa sastra
mempunyai fungsi ekspresif, menunjuk pada nada (tone) dan sikap pembicara atau
penulisnya. Bahasa sastra berusaha, mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya (berusaha)
mengubah sikap pembaca. Hal yang penting dalam bahasa satra adalah tanda,
simbolisme suara dari kata-katanya. Dalam bahasa sastra, sarana-sarana bahasa
dimanfaatkan secara lebih sistematik dan dengan sengaja.
Menurut Atmazaki (1990 : 28-29)
mengemukakan bahwa jenis-jenis karya sastra meliputi: [3]
(1) karya sastra yang berbentuk prosa,
Pada dasarnya kata prosa tidak
langsung berhubungan dengan karya sastra. Prosa lebih dekat dengan pemaparan,
dan sebuah pemaparan dikatakan mengandung nilai karya sastra karena (a) didalam
pemaparan terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kalimat
yang membentuk sebuah wacana, tidak berbentuk bait dan baris, sehingga deretan
peristiwa itu akan membentuk sebuah cerita, (b) dalam peristiwa itu perlunya
peran seorang tokoh, yaitu orang yang berperan dan menggerakkan deretan
peristiwa, (c) dalam deretan peristiwa dan tokohnya adalah fiktif (bukan
realitas).
(2) karya sastra yang berbentuk puisi,
Menurut Herman J. Waluyo (1997 : 1)
yang mengemukakan bahwa puisi sebagai bentuk kesusastraan yang paling tua.
Karya-karya besar dunia seperti : Oedipus, Hamlet, Mahabrata, Ramayana,
Bharatayudha, dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi. Dengan demikian, puisi
tidak hanyauntuk menulis dalam karya sastra, tetapi juga seperti yanf
dinyanyikan para artis Indonesia (dengan tema puisi cinta, puisi lingkungan,
dan sebagainya) menunjukkan bahwa puisi juga bisa dinyanyikan, didendangkan,
dan diperdengarkan secara indah (merdu/enak).
(3) karya sastra yang berbentuk drama.
Karya sastra yang berbentuk drama
ini ditentukan dengan adanya dialog antar tokoh (cerita terjadi karena dialog),
dan dapat dinikmati melalui sebuah pementasan. Biasanya darama merupakan
peristiwa itu sendiri / peristiwa yan dipentaskan, dan berhubungan dengan
partisipasi penonton / penikmat. [4]
B. Fungsi Sastra
Fungsi sastra adalah mengungkapkan
adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat, (berguna), dan mengandung
nilai moralitas (pesan moral). Suatu karya sastra dikatakan memiliki nilai
keindahan karena karya sastra yang terungkap dalam sebuah prosa, puisi, ataupun
drama merupakan suatu karya yang dapat dinikmati, baik bagi pembacanya (bagi
prosa), pendengarnya (bagi pendengarannya), dan penontonnya (bagi yang
melihatnya).[5]
Yang lebih penting mengenai fungsi
sebuah karya sastra menurut Edgar Allan yaitu memiliki nilai hiburan dan nilai
didaktik (didactic heresy). Suatu karya sastra dapat mengandung ajaran
pesan moral dan maksud atau misinya biasanya berupa pemberian pelajaran lewat
berbagai nasihat, petunjuk atau bimbingan kepada semua orang dalam memperbaiki
kehidupan.
C. Gambaran Puisi (Karya Sastra) di
Indonesia, Khususnya di Jawa
Telah diuraikan di atas bahwa karya
sastra yang berbentuk puisi dianggap sebagai karya sastra yang paling tua di
Indonesia. Tidak hanya di berbagai daerah Nusantara, juga di Jawa karya sastra
yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah mantra,
muncul apa yang disebut sebagai: parikan dan syair/ wangsalan, dan di Jawa
dikenal dengan nama ‘macapat’ yang merupakan puisi Jawa.[6]
Mantra yang merupakan bentuk puisi
lama Jawa dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam
berhubungan dengan hal-hal yang gaib/ supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini
dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan denga Yang Maha Kuasa. Agar
seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.
Mantra pada prinsipnya untuk pernohonan, baik permohonan yang megandung (niat)
psotif maupun negatif. Contoh : nilai positif, seperti mantra (ilmu)
pengasihan, permohonan agar turun hujan dan yang nilai negatif, seperti
menjalankan pencurian atau ilmu untuk mencederai seseorang dengan santet,
tenung, dan teluh.[7]
Selain mantra, karya sastra yang
berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair.
Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah talibun, gurindam, dan tersina yang
memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.
Pantun dan syair menunjukkan ikatan yang kuat dalam hal struktu kebahasaan.
Ikatan yang memberikab nilai keindahan dalam struktur kebahsaan itu berupa :
(1) jumlah suku kata setiap baris, (2) jumlah bait setiap baris, (3) jumlah
bait setiap puisi, (4) aturan dalam hal struktur dan ritma.
Dalam tradisi budaya Jawa, karya
sastra yang mempunyai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan
merupakan puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua
baris yag lazim disebut sampiran. Sementara wangsalan berupa: dua baris pertama
tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan
terjawab pada unsur-unsur lainnya.
Contoh parikan : Wis suwe ora
jamu / jamu pisan godhonge tela / wis suwe ora ketemu sapisan gawe gelo (artinya:
sudah lama tidak minum jamu / minum jamu sekali saja dannya ketela / sudah lama
tidak ketemu / ketemu sekali saja membuat kecewa). Sedangkan contoh wangsalan :
jenang sela (apu) / wader kali sesonderan (sepat) / apuran to yen wonten
lepat kawula).[8]
D. Keterkaitan
Islam dengan Karya Sastra Jawa
Maksud keterkaitan antara Islam
dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau
mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru sedangkan
puisi (temabng / sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai /
nasehat yang secara substansial merupakan petunjuk/ nasihat yang bersumber pada
ajaran Islam.[9]
Hal ini terjadi karena para
pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat
itu tentunya berbeda dengan kulitas saat sekarang ini. Ditambah lagi, puisi
Jawa baru (tembang / sekar macapat) ini jelas-jelas bermetrum Islam. Artinya,
muncul Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang hindu.
Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga
keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk tembang / sekar Macapat.
Istilah ‘interelasi’ (dalam topik)
artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walaupun
demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:
(1) Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
(2) Unsur kebajikan (upaya memberikan
petunjuk / nasihat kepada siapapun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan
petunjuk untuk tidak berbuat tercela).
E. Keterkaitan Islam dengan Karya-Karya
Sastra Jawa
Bentuk puisi yang dipakai dalam
membuat karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta adalah puisi Jawa
yang memiliki metrum Islam, yaitu Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana,
Dhandhanggila, Pangkur, Maskumambang, Durma, Gambuh, dan Megatruh.
Tembang-tembang Macapat yang berbentuk puisi Jawa itu mengendung nilai sastra.
Dalam puisi Jawa baru (seperti
temabang-tembang macapat) sekaligus termuat pengkonsentrasian/pemadatan. Hal
ini terlihat pada kenyataan bahwa setiap puisi menunjukkan tembang-tembang
Macapat kata-katanya terpilih (selektif dan tidak ada kata-kata yang tidak
bermakna), dan bentuk bahasanya cermat dan tepat. Jadi, tembang-tembang Macapat
yang merupakan puisi Jawa baru terungkap dalam karya sastra, oleh para pujangga
dipakai untuk terungkap dalam karya sasatra, oleh para pujangga dipakai untuk
menyampaikan berbagai ide mereka. Sifat yang demikian merupakan persyaratan
sebuah puisi yang memiliki nilai sastra yang berualitas.
III. KESIMPULAN
Jadi sastra
pada masa hindu budha kita kenal dengan yang namanya mantra. Mantra tersebut
hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh orang yang dianggap memiliki daya linuwih saja. Namun karya sastra itu
tidak hanya berupa mantra, tetapi sudah berkembang, ada yang namanya pantun
atau syair, yang lebih dikenal pada saat itu dengan sebuan parikan dan wangsalan.
Keterkaitan
antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya
imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak
yang mendominasi karya-karya sastra tersebut.
Paham kejawen
yang memiliki kesejajaran dengan tasawuf mistik merupakan realitas masyarakat
Jawa yang memiliki pengikut dan perkembangannya amat tergantung kepada seberapa
jauh apresiasi generasi penerus terhadap nilai-nilai masa lalu yang ada dalam
ajaran sastra pedalaman sebagaimana adanya.
IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami
sajikan, semoga dapat menambah ilmu serta bermanfaat bagi kita semua. Segala
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, kami hanyalah manusia biasa yang
mamiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharpkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
•
Amin,
Drs, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:
Gama Media, 2000.
•
Faruqi,
Ismail R. Islam dan Kebudayaan,
Bandung: MIZAN, 1984.
•
Hasan,
M, Tholhah. Islam dalam Perspektif Sosial
Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
•
Djamil,
H, Abdul. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
[1] Drs. Darori Amin. Islam dan Kebudayaan
Jawa. hlm. 139-140
[2] Ibid. hlm 141-142
[3]Djamil, H, Abdul. Islam dan
Kebudayaan Jawa. hlm. 146
[4] Ibid. hlm. 147
[5]M, Tholhah, Hasan. Islam dalam
Perspektif Sosial Cultur. Hlm. 150-151
[6] Ibid. hlm. 152
[7] http://hanacaraka.fateback.com/wangsalan.htm/ Tgl. 23 April
2011. Jam 15.00
[8] Ibid. hlm. 152
[9] Ismail R. Faruqi. Islam dan
Kebudayaan. Hlm. 159-160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar