Blog ini merupakan hasil matakuliah Teknologi Komunikasi dan Informasi, namun tidak menutup kemungkinan Blog ini akan terus berkembang untuk kemajuan Dakwah Islam. Terima kasih atas kunjungannya dan selamat menikmati bacaan yang ada. Semoga Bermanfaat. Amin
Terorisme pada
dasarnya merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan dengan
peradaban manuaia itu sendiri. Terorisme sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan, ditengarai telah ada jaman Yunani Kuno, dan pada abad pertengahan (Kerstetter,
1983). Dalam konteks ini, terorisme secara klasik diartikan sebagai kekerasan
atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dalam
masyarakat.
Terorisme mulai
berkembang dengan mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi, elektronik,
transportasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kimiawi. Sejalan
dengan perkembangan revolusi dunia metode teror tidak lagi hanya dilakukan oleh
negara yang direprentasikan oleh para penguasa, tetapi juga mulai dipraktikkan
oleh kaum pergerakan. Bagi kaum pergerakan, teror dan kekerasan dianggap
efektif untuk melemahkan pihak musuh, sehingga dapat membantu mencapai tujuan
memperoleh kebebasan dan kemerdekaan.
Di Indonesia,
terorisme pun sudah dikenal di awal kemerdekaan RI. Radikalisme gerakan Darul
Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Di bawah pimpinan Kartosuwiryo,
menjadi embrio bagi berkembangnya kelompok-kelompok radikal yang menerapkan
teror sebagai metode perjuangan.[1]
Klasifikasi
adalah pengelompokan barang yang sama
dan memisahkan dari yang berbeda menurut spesiasnya. Dalam kehidupan
sehari-hari pekerjaan pengelompokan semacam itu sangat sering kita lakukan.
Misalnya para penjual buah-buahan menyusun dagangannya dengan beberapa cara,
berdasarkan macam buah yang dijual, berdasarkan harganya, dan mungkin pula
berdasarkan besar kecilnya buah-buhan itu. Pemilik toko menyusun barang-barang
yang dijajakan berdasarkan barang sejenis. Para ilmuwan membuat klasifikasi
ilmu menjadi tiga golongan besar, ilmu-ilmu social, ilmu-ilmu kealaman dan
ilmu-ilmu humaniora. Dalam makalah ini akan kita bahas lebih lanjut mengenai
klasifikasi.
Seperti telah kita ketahui, Behaviorisme
adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Waston pada
tahun 1931. Sama halnya dengan psikoanalisa, behaviorisme juga merupakan aliran
yang revolusioner, kuat dan berpengaruh serta memiliki akar sejarah yang cukup
dalam.
Sejumlah filosof dan ilmuan sebelum Waston dalam satu dan lain
bentuk telah mengajukan gagasan-gagasan mengenai pendekatan objektif dalam
mempelajari manusia berdasarkan pandangan yang mekanistik dan materialistis,
suatu pendekatan yang menjadi ciri utama dari behaviorisme. Seorang diantaranya
adalah Ivan Pavlon (1849-1936), seorang ahli fisiologi Rusia.
Setiap mahasiswa psikologi pasti
mengenal nama Ivan Pavlov, dengan percobaannya mengenai pengondisian klasik
(classical conditioning). Percobaan Pavlov mengenai pengondisian klasik ini,
yang prosedur lengkapnya akan dibahas dalam uraian selanjutnya, telah
mengilhami Waston untuk mengembangkan behaviorisme. Di tangan Waston,
pengondisian klasik Pavlonv menjadi kunci untuk menerangkan tingkah laku
manusia dalam pendekatan yang objektif dan ilmiah.
Penekanan Waston atas pengondisian,
dalam kerangka kerja behaviorisme, telah mendorong lahirnya sejumlah gagasan
dan studi ilmiah mengenai proses belajar atau pembelajaran (learning), dan
pembelajaran ini menjadi titik perhatian utama para behavioris hingga kini. Dan
dengan dirangsang oleh pemikiran para pemikir besar seperti seperti Edwin
Guthrie (1886-1959), Clark Hull (1884-1952), dan Edward Tolman (1886-1959),
para behavioris telah berhasil memperjelas dan menyempurnakan gagasan mengenai
pembelajaran yang kemudian menjadi landasan yang kokoh bagi berbagai kegiatan
praktis seperti pendidikan, pekerjaan atau bisnis, dan psikoterapi.
Dalam bab ini kita akan membahas
teori kepribadian behaviorisme dengan menampilkan B.F. Skinner dengan sejumlah
gagasan pokoknya, dengan alasan bahwa Skinner adalah seorang tokoh behaviorisme
yang paling produktif menemukakan gagasan dan penelitian, paling berpengaruh,
serta paling berani dan tegas dalam menjawab tantangan dan kritik-kritik atas
behaviorisme.[1]
Pada waktu Munguliyah sedang menuju kehancurannya, maka bangkitlah
Daulah Usmaniyah di Asia Kecil, yang kemudian dengan segera menyebrang laut
menuju Eropa, dan dalam tahun 857 H. Kota Konstantinopel (Istambul) dapat
direbutnya.
Dari Istambul
Daulah Usmaniyah memperluas daerah kekuasaannya ke Semenanjung Balkan, sehingga
kota Wina dikepungnya, dan berkibarlah bendera Islam diangkasa Timua Eropa,
sungguhpun pada waktu itu Andalusia mulai lepas dari kekuasaan Islam.
Dari semenanjung
Balkan, Daulah Usmaniyah melebarkan sayapnya kejurusan timur, sehingga dalam
waktu yang sangat pendek seluruh Persia dan Irak yang dikuasai oleh Daulah
Shafawiyah yang beraliran Syi’ah dapat dikuasainya, sehingga aliran Syi’ah
digantinya dengan aliran Sunny.
Masa Usmany
bagi Kebudayaan Islam, adalah zaman yang paling suram dalam sejarahnya, karena
keadaan politik dan sosial yang kacau memberi pengaruh yang sangat jelek kepada
perkembangan kebudayaan pada umumnya, dan perkembangan ilmu pada khususnya.
Dalam zaman yang suram ini bagi kebudayaan Islam, hampir-hampir tidak pernah
lahir para Ulama yang mempunyai pikiran
originil.[1]
Daulah ‘Utsmaniyyah
ternyata adalah daulah yang banyak dipengaruhi aqidah tasawuf mendukung penuh
gerakan Sufi dgn berbagai macam tarekat-tarekat yg sangat bertentangan dengan
Islam dan tauhid. dlm pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah telah masuk berbagai
macam bentuk adat termasuk sebagian adat peribadatan Nashara seperti cara
kehidupan kependetaan yang dikenal dgn Ar-Rahbaniyyah melantunkan dzikir-dzikir
dgn lantunan nada diiringi tari-tarian disertai pula teriakan-teriakan dan
tepuk tangan. Berbagai macam bentuk peringatan maulid dan berbagai macam aliran
bid’ah yg lainnya. Bahkan telah masuk pula adat istiadat Hindu Persia dan
Yunani dgn berbagai macam dakwah aqidah yg menyesatkan.[2]
Masyarakat Islam tampaknya terjebak dalam cengkraman dua
arus sosial yang kontradiktif. Seiring dengan terbentuknya metafora-metafora,
simbol-simbol dan ajaran-ajaran Islam sebagai ungkapan politik, semakin banyak
masyarakat disepanjang wilayah Timur Tengah memandang Islam sebagai sebuah
proyek pembebasan.
Pada
saat yang sama, di negara-negara tempat para Islamis berkuasa, semakin banyak
orang, karena merasa kecewa dengan janji-janji mereka yang tidak pernah
terwujud, berpaling kembali pada militansi Islam.
Legitimasi Islam yang digunakan para
islamis semakin memudar seiring dengan semakin lebarnya gap yang terjadi antara
sikaya dan simiskin, dan semakin meningkatnya korupsi terang-terangan yang
dilakukan oleh para penguasa autokrat, mempersulit posisi para pemimpin dari
kelas menengah. Klaim-klaim untuk mewujudakn sebuah masyarakat yang adil hnya
menjadi sebuah lelucon saja.
Selain
kebulatan tekat untuk membatasi hak-hak perempuan, rezim-rezim Fundamentalis
kelihatannya tidak melakukan hal lain selain hanya mempertahankan status
quo,sambil memakaikan topi syari’ah (kolah-e Sharii) semata diatasnya.
Dengan
tidak terwujudnya sebuah masyarakat yang adil, para penguasa Muslim dianggap
sebagai penerus kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang pada pertengahan
1970-an, telah mengantarkan pada krisis yang memunculkan gerakan-gerakan
fundamentalis.
Tekana
kultural-kultural dan kampanye-kampanye moral atas perempuan dan pemuda
membangkitkan keinginan untuk berontak. Akan tetapi, melalui manipulasi
terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat dan penggunaan intimidasi serta
teror yang tidak manusiawi, para Islamis mengamankan kekuasaan mereka dengan
penentangan sengit terhadap para nasionalis-liberal-sekuler dan proyek-proyek
sosialis di sepanjang wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.
Perempuan
paling dirugikan dibandingkan dengan laki-laki akibat konservatisme sosial yang
menjadi simbol gerakan-gerakan fundamendamentalis dimana saja. Mulai dari
Afganistan hingga Algeria, Sudan, Pakistan, dan Iran, bahkan diseluruh
masyarakat Islam, perempuan secara terus menerus diperlakukan secara kasar dan
terjebak dalam pertarungan hebat antara kekuatan sekuler dan fundamentalis.
Perempuan
mengalami teror hebat, remaja-remaja putri tidak henti-hentinya diculik,
diperkosa, dibakar dan dibunuh. Diantara ratusan korban perkosaan, beberapa
dari mereka melahirkan setelah berhasil diselamatkan, tetapi mereka lebih
memilih untuk bersembunyi daripada kembali ke desa-desa mereka.
Banyak teror-teror ini yang diketahui
oleh komunitas internasional. Tetapi pemerintah-pemerintah Barat tetap
menjalankan kebijakan-kebijakan ganda. Seperti kebijakan Reagan yang
kontra-Iran disatu pihak dan penjualan senjata kepada penguasa Iran Ayatollah
Khomeini dipihak lain. Meskipun hal ini mengundang kutukan dari para pejabat
Amerika Serikat sendiri karena pelanggarannya terhadap hak-hak asasi manusia.
Perlakuan
rezim-rezim fundamentalis terhadap perempuan menarik perhatian dibarat.
Perempuan banyak menghiasi komentar-komentar ilmiah dan jurnalistik. Isu
seputar hak-hak perempuan diperkenalkan melalui pernyataan resmi dan laporan
pemerintah. Akan tetapi, isu resebut seringkali dimanfaatkan secara ideologis
untuk mengisolasikan dan menahan musuh-musuh yang kuat. Terbukti, isu hak-hak
perempuan tidak pernah diminculkan ketika berhadapan dengan rekan-rekan
penghasil minyak mereka (Barat) di semenanjung Arabia.
Pernyataan
yang selalu muncul tulisan-tulisan kritis itu untuk kepentingan siapa dan
berpihak kepada siapa? Karena situasi inilah beerapa sarjana menolak memberikan
gambaran-gambaran tentang praktik-praktik dan tradisi Islam yang keras, sebagai
gantinya, mereka lebih yang pada aspek-aspek positif dari kebudayaan
Islam. Akan tetapi, sikap seperti ini juga sangat problematik.
Jalan terbaik untuk mengekpresikan solidaritas
atas keberagaman Muslim adalah tidak mendiamkan karakter-karakter opsesif dari
tradisi kultural seseorang atau praktik-praktik-praktik yang tidak humanis dari
rezim-rezim fundamentalis. Ini berarti tidak turut serta dalam sikap pembelaan
diri yang destruktif yang telah membentuk imaginasi anti-kolonial dalam
masyarakat Islam menolak sikap mengagungkan dan menyesali diri sendiri.
Masyarakat
yang hidup dibawah naungan hukum Islam tidak serta merta budaya (ametaculture),
walaupun sedikit terikat dengan politik Islamis. Banyak orang yang mengalami
diskriminasi dan lebih banyak lagi yang dihukum dengan keji hanya karena alasan
yang semata-mata dipakai untuk melihat perbedaan jalan hidup dan cara pandang
Muslim dan Barat. Akan tetapi, ia juga merupakan sebuah terma yang berguna
untuk menunjukkan perbedaan jalan hidup dan cara pandang di kalangan masysrakat
Muslim.
Salah
satu hal yang mendasari terjadi hubungan sosial adalah seberapa jauh seseorang
tertarik dengan orang lain. Apabila ada daya tarik di antara mereka, maka
kemungkinan terjadinya hubungan lebih besar. Kenyataan seperti ini bisa dilihat
ditempat-tempat umum. Karena tidak ada perhatian dan ketertarikan dengan wanita
yang duduk disalah satu bangku, seorang pria tidak akan menjalin hubungan
sosial dengan wanita tersebut. Sebaliknya, meskipun kondisi yang ada sebenarnya
sulit untuk mengadakan kontak sosial, tetapi karena seseorang tertarik sangat
kuat pada orang lain, maka akan diusahakan oleh oarang pertama tersebut untuk
menjalin hubungan.
Dalam
kehidupan manusia di dunia tentunya setiap individu tidak akan pernah terlepas
dengan orang lain atau berinteraksi dalam memenuhi kebutuhannya. Sejalan dengan
interaksi manusia dalam kehidupannya kerap kali muncul suatu hubungan di antara
individu, hubungan itu berawal dari sebuah interaksi antar individu yang
semakin lama sehingga menimbulkan sebuah perasaan ketertarikan antar individu,
berawal dari ketertarikan itu manusia akan menjalani hubungan yang jauh yang
berupa persahabatan, setelah masa persahabatan berjalan baik dalam waktu yang
lama atau pendek terkadang akan menimbulkan perasaan yang lebih mendalam di
antara individu, perasaan itulah yang di sebut dengan intimasi.[1]
Manajemen
sebagai suatu proses, fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain
dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan bersama.[1]
Pembangunan
Nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan manusia yang maju,
stabil dan makmur serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri baik yang
berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
Berdasarkan
Pasal 3 Undang-Undang 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN)
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta meningkatkan
mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan
nasonal.
Dari
rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional jelaslah betapa besar tanggung
jawab pendidikan nasional. Melalui pendidikan nasional diharapkan dapat
ditingkatkan kemampuan, mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia. Untuk
itu, pendidikan nasional diharapkan menghasilkan manusia terdidik yang utuh
baik keimanan, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kepribadian, dan rasa
tanggungjawabnya.
Untuk
memperoleh fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut diatas maka lembaga
pendidikan perlu di menej (dikelola) secara efektif dan efisien. Menajemen
pendidikan adalah kemampuan/keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam
rangka pencapaian tujuan melalui
kegiatan orang lain. Stoner mengemukakan bahwa manajemen sebagai seni untuk melaksanakan
suatu pekerjaan melalui orang lain. Siagian, mengemukakan bahwa manajemen pada
hakikatnya berfungsi untuk melakukan semua kegiatan-kegiatan yang perlu
dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan.
Melaksanakan
berbagai untuk menekuni tujuan pendidikan merupakan proses kerjasama antara dua
orang atau lebiih. Proses kerjasama antara hdua orang atau lebih untuk
memberdayakan berbagai komponen dalam sistem pendidikan nasional adalah kajian
manajemen (pengelolaan) dan kriteria keberhasilan pendidikan.[2]