Selamat Datang di Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Blog ini merupakan hasil matakuliah Teknologi Komunikasi dan Informasi, namun tidak menutup kemungkinan Blog ini akan terus berkembang untuk kemajuan Dakwah Islam. Terima kasih atas kunjungannya dan selamat menikmati bacaan yang ada. Semoga Bermanfaat. Amin

Rabu, 27 Juni 2012

TERORISME (Studi Kebijakan Dakwah)


I.     PENDAHULUAN
Terorisme pada dasarnya merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan dengan peradaban manuaia itu sendiri. Terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, ditengarai telah ada jaman Yunani Kuno, dan pada abad pertengahan (Kerstetter, 1983). Dalam konteks ini, terorisme secara klasik diartikan sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dalam masyarakat.
Terorisme mulai berkembang dengan mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi, elektronik, transportasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kimiawi. Sejalan dengan perkembangan revolusi dunia metode teror tidak lagi hanya dilakukan oleh negara yang direprentasikan oleh para penguasa, tetapi juga mulai dipraktikkan oleh kaum pergerakan. Bagi kaum pergerakan, teror dan kekerasan dianggap efektif untuk melemahkan pihak musuh, sehingga dapat membantu mencapai tujuan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan.
Di Indonesia, terorisme pun sudah dikenal di awal kemerdekaan RI. Radikalisme gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Di bawah pimpinan Kartosuwiryo, menjadi embrio bagi berkembangnya kelompok-kelompok radikal yang menerapkan teror sebagai metode perjuangan.[1]


II.      RUMUSAN MASALAH
A.       Pengertian Terorisme
B.       Karakteristik Terorisme
C.       Terorisme Dalam Perspektif Agama
D.       Terorisme Dalam Perspektif Hukum

III.   PEMBAHASAN

A.    Pengertian Terorisme
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya "teroris" layak mendapatkan pembalasan yang kejam.[2]
            Definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Amerika Serikat sendiri yang mendeklarasikan “perang melawan teroris” belum memberikan definisi yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa dilarang keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan.
Kejelasan definisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap, dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak, di samping demi kepentingan atau target meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab.
Terorisme dikaitkan dengan persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Karena akibat terorisme, banyak kepentingan umat manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah menjadi ongkos kebiadaban, dan kedamaian hidup antar umat manusia jelas-jelas dipertaruhkan. Namun demikian, ada komunitas sosial keagamaan yang mengenalkan bentuk implementasi keagamaan sebagai bagian dari strategi perjuangan. Strategi perjuangan ini dipopulerkan dalam kategori “jihad”.[3]
Walter Laqueur (1999), mengkaji setidaknya lebih dari seratus definisi terorisme. Kajian Laqueur menyimpulkan ada unsur-unsur yang signifikan dari definisi terorisme yang dirumuskan berbagai kalangan, yaitu terorisme memiliki ciri utama digunakannya ancaman kekerasan dan tindak kekerasan. Selain itu, terorisme umumnya didorong oleh motifasi politik, dan dapat juga karena adanya fanatisme keagamaan.[4]
Mengingat sulitnya mendefinisikan terorisme dalam konteks hubungan internasional, maka kegiatan terorisme hanya dapat didekati dari kesepakatan atas beberapa ciri utamanya dalam sejumlah kategori, antara lain:
Ø  Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dengan tujuan tertentu secara sistematis
Ø  Menggunakan ancaman kekerasan atau melakukan kekerasan tanpa pandang bulu, baik terhadap musuh atau sekutu
Ø  Senaja menciptakan dampak psikologis atau phisik terhadap kelompok masyarakat atau tertentu
Ø  Meliputi kaum revolusioner, ekstrimis politik, penjahat yang bertujuan politik, dan para lunatik sejati
Ø  Pelakunya dapat beroperasi sendiri ataupun sebagai anggota kelompok yang terorganisasi, bahkan pemerintah tertentu
Ø  Motifnya dapat bersifat pribadi, atau destruksi atas pemerintahan, atau kekuasaan kelompok
Ø  Modusnya dapat berupa penculikan untuk mendapat tebusan, pembajakan, atau pembunuhan kejam yang mungki tidak dikehendaki oleh para pelakunya
Ø  Aksi-aksinya dirancang untuk menarik pehatian dunia atas eksistensinya, sehingga korban dan targetnya dapat saja tidak berkaitan sama sekali dengan perjuangan para pelakunya.
Ø  Aksi-aksi teror dilakukan karena bermotivasi secara politik
Ø  Kegiatan terorisme ditujukan pada suatu pemerintahan, kelompok, klas, atau partai politik tertentu, dengan tujuan untuk membuat kekacauan di bidang politik, ekonomi, atau sosial.[5]
            Sedangkan berbagai pendapat dan pandangan menganai pengertian atau istilah yang berkaitan dengan terorisme dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisasi, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berfikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian tersebut semua memasukkan apa yang disebut dengan unsur kekerasan.[6]
B.     Karakteristik Terorisme
Menurut Loudewijk F. Paulus Karakteristik terorisme ditinjau dari empat macam pengelompokan yang terdiri dari:
·      Karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen, pendanaan danhubungan Internasional.
·      Karakteristik operasi yang meliputi: perencanaan, waktu, taktik dan kolusi
·      Karakteristik perilaku yang meliputi: motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan menyerang hidup-hidup.
·      Karakteristik sumber daya yang meliputi: latihan atau kemampuan, pengalaman perorangan dibidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi.
Motif terorisme, teroris terinspirasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya.[7]
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.[8]
Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).[9]
Terorisme memiliki beberapa ciri-ciri yang mendasar, dan antara lain: kegiatan terorisme dilakukan dengan cara kekerasan (contoh pengeboman, penyanderaan, dan lain-lain) untuk melaksanakan kehendaknya dan cara tersebut merupakan sebagai sarana (bukan merupakan tujuan), sasaran serangannya adalah tempat-tempat umum atau obyek vital seperti pusat-pusat perbelanjaan, bandara, stasiun. Secara korbannya tidak pilih-pilih, kegiatannya sangat profesional dan rapi sehingga sulit untuk dilacak jejaknya.[10]
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta berbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.[11]
C.    Terorisme Dalam Perspektif Agama
Allah telah melarang kita untuk membunuh jiwa tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syar’i. Allah berfirman:
ولا تقتلوا النفس التي حرم الله الا بالحق
Artinya: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa tanpa haq (alasan yang dibenarkan oleh syari’at untuk dibunuh)”. [Al An’am: 151]
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah ra:
اجتنبوا السبع الموبقات ................. :الشرك بالله, والسحر, وقتل النفس التي حرم الله الا بالحق..........
Artinya: “Jauhilah tujuh (dosa besar penyebab) kebinasaan ..... (Yaitu) Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan leh Allah (untuk dibunuh) kecuali dengan haq (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). [HR. Al Bukhari][12]
            Islam sebagai agama yang Rahmatan lil alamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghoyat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah Ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubbarrir al wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula. Tidak ada alasan etik dan moral sedikitpun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan, lebih teror. Dengan demiian kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran etik moral Islam, melainkan agenda lain yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.[13]
               Pandangan keagamaan sejati akan membawa visi kamaslahatan, kerakyatan, kewargaan, dan kesetaraan. Kamal Abdul Majid pemikir muslim asal Mesir dalam al-irhab wa al-Islam (Terorisme dan Islam) mengemukakan beberapa prinsip dalam membangun visi keberagaman yang humanis, inklusif dan pluralis, yaitu:
1.      Manusia, apapun warma kulit, ras, suku, keyakinan dan agamanya dalam pandangan makhluk mulia
2.      Pluralitas dan perbedaan merupakan rahmat dan nikmat Tuhan, bukan ancaman. Menurut Islam, “yang lain” itu merupakan karib yang mesti diakomodasi dan diajak kerja sama
3.      Darah, dalam pandangan Islam adalah kehormatan dan senantiasa dipelihara, baik darah itu muslim maupun non muslim.
Kegiatan terorisme, meski memakan banyak korban, bukan kejahatan pembunuhan biasa atau direncanakan. Terorisme  dianggap kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Dan tidak ditujukan untuk khusus mencubut jiwa seseorang atau kelompok tertentu. Terorisme semata-mata hendak membuat ketakutan masyarakat dengan menimbulkan korban sebagai sasaran.[14]
 Kejahatan terorisme seperti itu tentu memerlukan jaringan organisasi kuat dan pendanaan yang cukup. Alasannya, untuk mencapai sasaran antara, korban massal dan ketakutan luar biasa, diperlukan dana besar dan keahlian khusus, bukan sekedar bisa mengasah pisau atau golok. Keistimewaan kegiatan terorisme adalah tidak dapat dideteksi lebih awal sebelum jatuh korban massal karena didukung kegiatan spionase yang bersifat tertutup dan menggunakan sistem yang amat sulit dilacak. Jika pun berhasil dilacak, hal itu membutuhkan waktu cukup lama.[15]
D.    Terorisme Dalam Perspektif Hukum
Penegakan hukum akan menentukan citra dan jati diri negara hukum. Sedangkan negara hukum terkait erat dengan negara demokrasi, karena kedua bentuk negara ini sama-sama punya kewajiban menempatkan rakyat sebagai subyek yang dilindungi. Bentuk perlindungan yang ditunjukkan berupa penegakan hukum (law enforcement).
                           Negara hukum tidak bisa dilepaskan dari pengertian negara demokrasi. Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara demokrasi, hukum diangkat, dan merupakan respon aspirasi oleh rakyat. Oleh sebab itu hukum dari rakyat oleh rakyat dan dari rakyat.[16]
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.
Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme.[17]
Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1.    Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2.    Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3.    Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4.    Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.[18]
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti, melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
1.    Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
2.    Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.[19]
Secara dogmatis masalah pokok berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu:
a.     Perbuatan yang dilarang
b.    Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu
c.     Pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran itu.
Pada umumnya tindak pidana hanya bisa dilakukan oleh manusia atau orang pribadi oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenai orang, seorang atau kelompok orang sebagai subjek hukum. Subjek hukum atau pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan bunyi Pasal 55 KUH Pidana maka yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana adalah:
ü Orang yang melakukan (Plenger)
ü Yang menyuruh melakukan (memberi perintah) Doen Pleger
ü Orang yang turut serta melakukan (Dader)
ü Orang yang membujuk melakukan.[20]
Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme sebagai berikut : “tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undana-undang ini (Pasal 1 ayat 1)”
Pasal 1 ayat (1) dalam Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut, rumusannya sama dengan yang ada dalam draft rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Terorisme.[21]
Tindak pidana terorisme dalam rumusan Pasal 6 Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dikualisifikasikan sebagai Delik Materiil.
 Disebutkan dalam Pasal 6 Undang-undang No. 15 Tahun 2003, bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang setrategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, di pidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal ini adalah termasuk dalam Delik Materiil yaitu yang ditekankan pada akibat yang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan kehancuran.[22]


IV.   KESIMPULAN
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer meleinkan terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Tror adalah menakut-nakuti dan mengancam. Ia tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh semua agama. Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban dan kebinatangan. Akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagai wujud pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Di dalam agama memang ada tindakan kekerasan yang dibenarkan, tetapi hal itu sebagai wujud implementasi hukum (syari’ah). Tetapi cara-cara keji seperti teror dengan mengorbankan rakyat tidak berdosa tidak dibenarkan oleh agama.
Penggunaan sistem peradilan pidana merupakan suatu respon terhadap penanggulangan dan penanganan kejahatan atau kriminalitas, adalah juga merupakan wujud dari usaha penegakan hukum pidana.
Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa yang dimaksud tentang  pemberantasan tindak pidana terorisme adalah: (1) segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini (Pasal 1 ayat 1). (2) setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang setrategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
V.      PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, semoga dapat menambah ilmu serta bermanfaat bagi kita semua. Segala kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, kami hanyalah manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Madkhaly, Muhammad. Terorisme dalam Tinjauan Islam. Tegal: Makhtabah       Salafy. 2002
Al-Kalami, Haitsam. Siapa Teroris Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001           
Ba’abduh, Luqman bin Muhammad. Mereka Adalah Teroris (Sebuah Tinjauan       Syari’at). Malang: Pustaka Qaulan Sadida. 2005
Hakim, Luqman. Terorisme di Indonesia. Surakarta: Forum Study Islam Surakarta (FSIS). 2004
Hulsman, ML. Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Perbandingan Hukum). Jakarta: Rajawali. 1984
Kusumah, W. Mulyana. Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum. Jakarta: FISIP UI. 2002
Loqman, Loebby. Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. 1990
Muladi. Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi. Jakarta: FISIP UI. 2002
Projo Hamidjo, Martiman. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita. 1997
Wahid, Abdul. Kejahatan Terorisme. Bandung: Refika Aditama. 2004
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
http://jhonfreedom.blogspot.com/2009/03/pengertian-terorisme.html




[1] Luqman Hakim. Terorisme Di Indonesia. Hlm: 6
[2] http://jhonfreedom.blogspot.com/2009/03/pengertian-terorisme.html
[3] Drs. Abdul Wahid, SH.,M.A. Dkk. Kejahatan Terorisme. Hlm: 21
[4] Luqman Hakim. Op., cit. Hlm: 10
[5] Ibid. Hlm: 11-13
[6] Drs. Abdul Wahid, SH.,M.A. Dkk. Op., cit. Hlm: 31-32
[7] Ibid. Hlm: 33
[8] Loebby Loqman. Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di  Indonesia. Hlm: 98
[9] Mulyana W. Kusumah. Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum. Hml: 22
[10] Haitsam Al-Kalami. Siapa Teroris Dunia. Hlm: 27
[11] Muladi. Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi. Hlm: 3
[12] Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh. Mereka Adalah Teroris. Hlm:236-237
[13]Drs. Abdul Wahid, SH.,M.A. Dkk. Op., cit. Hlm: 42

[14] Muhammad Al-Madkhaly. Terorisme dalam Tinjauan Islam. Hlm: 67
[15] Ibid. Hlm: 68
[16] Martiman Projo Hamidjo. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Hlm: 79
[17] http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
[18] Loebby Luqman. Op., cit. Hlm: 26
[19] Muladi. Op.,cit. Hlm: 6
[20] ML Hulsman. Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Perbandingan Hukum). Hlm: 70
[21] Ibid. Hlm: 76
[22] Ibid. Hlm: 76-77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar