Selamat Datang di Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Blog ini merupakan hasil matakuliah Teknologi Komunikasi dan Informasi, namun tidak menutup kemungkinan Blog ini akan terus berkembang untuk kemajuan Dakwah Islam. Terima kasih atas kunjungannya dan selamat menikmati bacaan yang ada. Semoga Bermanfaat. Amin

Senin, 02 Juli 2012

Pembahasan Kata (Ilmu Logika)


PEMBAHASAN KATA  (LOGIKA)
I.  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra pesisiran sebagai bagian dari sastra Jawa memiliki kaitan erat dengan proses perkembangan kehidupan keagamaan karena pada dasarnya kehidupan sehari-hari masyarakat tak dapat dilepaskan dari kerangka agama. Ia biasanya diidentifikasikan sebagai karya sastra yang berkaitan erat dengan proses Islamisasi Jawa yang memakan waktu cukup lama serta berlangsung dengan damai.
Karya-karya ynag muncul dari kalangan penulis memperlihatkan warna agama yang begitu dominan, bahkan ada kecenderungan ke arah mempertahankan unsur legalistik dalam agama dari kemungkinan masuknya elemen-elemen yang dianggap mengandung unsur menyesatkan.
B. Rumusan Masalah
a.  Apa pengertian sastra secara istilah dan menurut para sastrawan ?  
b.  Bagaimana perkembangan sastra hasil interelasi Islam dan Jawa ?
c.  Bagaimana aspek keterkaitan Islam terhadap sastra Jawa itu sendiri ?

II.  PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sastra
‘Sastra’ sebagai istilah yang menunjukkan pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori sastra (membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membentuk suatru karya sastra, jenis-jenis sastra, dan perkembangan pemikiran sastra), sejarah sastra (membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan/perkembangan suatu karya satra, tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra, termasuk karya sastra yang menonjol dari aliran-aliran yang mendasari suatu karya sastra terkait dengan kondisi ideologi dan sosial yang mempengaruhinya), kritik sastra (membicarakan mengenai pemahaman, penafsiran, penilaian, dan penghayatan terhadap suatu karya sastra).[1]
Menurut Teeuw (1984 : 23) mengemukakan bahwa kata ‘sastra’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, member petunjuk/instruksi’. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata satra diberi awalan ‘su’ (menjadi susastra). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ (tulisan yang indah dan sopan).
Istilah ‘sastra’ dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah literature (latin=litere) yang menunjuk pada karya tulis atau karya tulis yang dicetak (sebanarnya juga termasuk karya sastra yang tidak hanya tertulis, tetapi juga yang tertulis/lisan).
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1993 : 3 dan 11) mengemukakan bahwa ‘sastra’ merupakan suatu kegiatan kreatif atau sebuah karya seni, yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun yang tercetak, termasuk karya sastra lisan. Jadi, istilah ‘sastra’ yang terkait dengan suatu karya (karya sastra) merupakan suatu tulisan (karya) yang sifatnya imajinatif (imajinative literature) yang diterapkan pada (umumnya) dalam seni sastra.[2]
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari. Rene Wellek dan Austin Warren (1993 :15-17) mengemukakan bahwa bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjuk pada nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha, mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya (berusaha) mengubah sikap pembaca. Hal yang penting dalam bahasa satra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-katanya. Dalam bahasa sastra, sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematik dan dengan sengaja.
Menurut Atmazaki (1990 : 28-29) mengemukakan bahwa jenis-jenis karya sastra meliputi: [3]
(1)   karya sastra yang berbentuk prosa,
Pada dasarnya kata prosa tidak langsung berhubungan dengan karya sastra. Prosa lebih dekat dengan pemaparan, dan sebuah pemaparan dikatakan mengandung nilai karya sastra karena (a) didalam pemaparan terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kalimat yang membentuk sebuah wacana, tidak berbentuk bait dan baris, sehingga deretan peristiwa itu akan membentuk sebuah cerita, (b) dalam peristiwa itu perlunya peran seorang tokoh, yaitu orang yang berperan dan menggerakkan deretan peristiwa, (c) dalam deretan peristiwa dan tokohnya adalah fiktif (bukan realitas).     
(2)   karya sastra yang berbentuk puisi,
Menurut Herman J. Waluyo (1997 : 1) yang mengemukakan bahwa puisi sebagai bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya-karya besar dunia seperti : Oedipus, Hamlet, Mahabrata, Ramayana, Bharatayudha, dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi. Dengan demikian, puisi tidak hanyauntuk menulis dalam karya sastra, tetapi juga seperti yanf dinyanyikan para artis Indonesia (dengan tema puisi cinta, puisi lingkungan, dan sebagainya) menunjukkan bahwa puisi juga bisa dinyanyikan, didendangkan, dan diperdengarkan secara indah (merdu/enak).
(3)   karya sastra yang berbentuk drama.
Karya sastra yang berbentuk drama ini ditentukan dengan adanya dialog antar tokoh (cerita terjadi karena dialog), dan dapat dinikmati melalui sebuah pementasan. Biasanya darama merupakan peristiwa itu sendiri / peristiwa yan dipentaskan, dan berhubungan dengan partisipasi penonton / penikmat. [4]
B.     Fungsi Sastra
Fungsi sastra adalah mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat, (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral). Suatu karya sastra dikatakan memiliki nilai keindahan karena karya sastra yang terungkap dalam sebuah prosa, puisi, ataupun drama merupakan suatu karya yang dapat dinikmati, baik bagi pembacanya (bagi prosa), pendengarnya (bagi pendengarannya), dan penontonnya (bagi yang melihatnya).[5]
Yang lebih penting mengenai fungsi sebuah karya sastra menurut Edgar Allan yaitu memiliki nilai hiburan dan nilai didaktik (didactic heresy). Suatu karya sastra dapat mengandung ajaran pesan moral dan maksud atau misinya biasanya berupa pemberian pelajaran lewat berbagai nasihat, petunjuk atau bimbingan kepada semua orang dalam memperbaiki kehidupan.
C.    Gambaran Puisi (Karya Sastra) di Indonesia, Khususnya di Jawa
Telah diuraikan di atas bahwa karya sastra yang berbentuk puisi dianggap sebagai karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di berbagai daerah Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah mantra, muncul apa yang disebut sebagai: parikan dan syair/ wangsalan, dan di Jawa dikenal dengan nama ‘macapat’ yang merupakan puisi Jawa.[6]
Mantra yang merupakan bentuk puisi lama Jawa dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/ supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan denga Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya  kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra. Mantra pada prinsipnya untuk pernohonan, baik permohonan yang megandung (niat) psotif maupun negatif. Contoh : nilai positif, seperti mantra (ilmu) pengasihan, permohonan agar turun hujan dan yang nilai negatif, seperti menjalankan pencurian atau ilmu untuk mencederai seseorang dengan santet, tenung, dan teluh.[7]
Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah talibun, gurindam, dan tersina yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair. Pantun dan syair menunjukkan ikatan yang kuat dalam hal struktu kebahasaan. Ikatan yang memberikab nilai keindahan dalam struktur kebahsaan itu berupa : (1) jumlah suku kata setiap baris, (2) jumlah bait setiap baris, (3) jumlah bait setiap puisi, (4) aturan dalam hal struktur dan ritma.
Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang mempunyai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan merupakan puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yag lazim disebut sampiran. Sementara wangsalan berupa: dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur lainnya.
Contoh parikan : Wis suwe ora jamu / jamu pisan godhonge tela / wis suwe ora ketemu sapisan gawe gelo (artinya: sudah lama tidak minum jamu / minum jamu sekali saja dannya ketela / sudah lama tidak ketemu / ketemu sekali saja membuat kecewa). Sedangkan contoh wangsalan : jenang sela (apu) / wader kali sesonderan (sepat) / apuran to yen wonten lepat kawula).[8]
D.     Keterkaitan Islam dengan Karya Sastra Jawa
Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru sedangkan puisi (temabng / sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai / nasehat yang secara substansial merupakan petunjuk/ nasihat yang bersumber pada ajaran Islam.[9]
Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kulitas saat sekarang ini. Ditambah lagi, puisi Jawa baru (tembang / sekar macapat) ini jelas-jelas bermetrum Islam. Artinya, muncul Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang hindu. Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi  yang berbentuk tembang / sekar Macapat.
Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:
(1)   Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
(2)   Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk / nasihat kepada siapapun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).


E.     Keterkaitan Islam dengan Karya-Karya Sastra Jawa
Bentuk puisi yang dipakai dalam membuat karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta adalah puisi Jawa yang memiliki metrum Islam, yaitu Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggila, Pangkur, Maskumambang, Durma, Gambuh, dan Megatruh. Tembang-tembang Macapat yang berbentuk puisi Jawa itu mengendung nilai sastra.
Dalam puisi Jawa baru (seperti temabang-tembang macapat) sekaligus termuat pengkonsentrasian/pemadatan. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa setiap puisi menunjukkan tembang-tembang Macapat kata-katanya terpilih (selektif dan tidak ada kata-kata yang tidak bermakna), dan bentuk bahasanya cermat dan tepat. Jadi, tembang-tembang Macapat yang merupakan puisi Jawa baru terungkap dalam karya sastra, oleh para pujangga dipakai untuk terungkap dalam karya sasatra, oleh para pujangga dipakai untuk menyampaikan berbagai ide mereka. Sifat yang demikian merupakan persyaratan sebuah puisi yang memiliki nilai sastra yang berualitas.
III.  KESIMPULAN
Jadi sastra pada masa hindu budha kita kenal dengan yang namanya mantra. Mantra tersebut hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh orang yang dianggap memiliki daya linuwih saja. Namun karya sastra itu tidak hanya berupa mantra, tetapi sudah berkembang, ada yang namanya pantun atau syair, yang lebih dikenal pada saat itu dengan sebuan parikan dan wangsalan.
Keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut.
Paham kejawen yang memiliki kesejajaran dengan tasawuf mistik merupakan realitas masyarakat Jawa yang memiliki pengikut dan perkembangannya amat tergantung kepada seberapa jauh apresiasi generasi penerus terhadap nilai-nilai masa lalu yang ada dalam ajaran sastra pedalaman sebagaimana adanya.


IV.  PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, semoga dapat menambah ilmu serta bermanfaat bagi kita semua. Segala kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, kami hanyalah manusia biasa yang mamiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharpkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah.

DAFTAR PUSTAKA

     Amin, Drs, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
     Faruqi, Ismail R. Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
     Hasan, M, Tholhah. Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
     Djamil, H, Abdul. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.



[1] Drs. Darori Amin. Islam dan Kebudayaan Jawa. hlm. 139-140
[2] Ibid. hlm 141-142
[3]Djamil, H, Abdul. Islam dan Kebudayaan Jawa. hlm. 146
[4] Ibid. hlm. 147
[5]M, Tholhah, Hasan. Islam dalam Perspektif Sosial Cultur. Hlm. 150-151
[6] Ibid. hlm. 152
[7]  http://hanacaraka.fateback.com/wangsalan.htm/ Tgl. 23 April 2011. Jam 15.00
[8] Ibid. hlm. 152
[9] Ismail R. Faruqi. Islam dan Kebudayaan. Hlm. 159-160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar