Selamat Datang di Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Blog ini merupakan hasil matakuliah Teknologi Komunikasi dan Informasi, namun tidak menutup kemungkinan Blog ini akan terus berkembang untuk kemajuan Dakwah Islam. Terima kasih atas kunjungannya dan selamat menikmati bacaan yang ada. Semoga Bermanfaat. Amin

Senin, 02 Juli 2012

DASAR BIOLOGIS MANUSIA {Analisis Perubahan Tingkah Laku}


DASAR BIOLOGIS MANUSIA

I.     LATAR BELAKANG
Selama berabad-abad manusia telah mecoba memahami hubungan antara tubuh dan jiwa, antara konstitusi tubuh dan kepribadian. Dan sejak 1880-an ketika Sir Francis Galton membedakan antara “nature” (bawaan) dan “nurture” (lingkungan), para psikolog telah memberikan perhatian kepada hubungan keduanya.
Dalam eksploirasi masyur tentang hubungan antara biologi dan kepribadian, nuerolog terkenal Antonio Damasio (1994). Pandangan bahwa tubuh dan jiwa, biologi dan kepribadian, merupakan dua hal yana saling berhubungan memiliki sejarah yang panjang. Dalam pembahasan ini akan melacak beberapa sejarah berkaitan dengan konsep temperamen, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai aspek fundamental kepribadian kita dan jelas merupakan bagia dari kepribadian Gage yang berubah ketika batang besi tersebut menembus otaknya.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Temperamen
B.     Teori Evolusi dan Kepribadian
C.     Gen dan Kepribadian
D.    Neurosain dan Kepribadian
III.             PEMBAHASAN
A.  Temperamen
Biasanya para psikolog menggunakan istilah temperamen untuk merujuk kepada perbedaan individual dalam suasana hati (mood) atau kualitas respons emosional. Konsep temperamen merujuk kepada perbedaan kualitas emosional atau perilaku yang cukup stabil yang penampakannya pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh faktor boilogis bawaan.[1]
Kita mendapatkan ketrampilan sosial, konsep diri, tujuan personal dalam hidup, dan seterusnya melalui interaksi dengan dunia sosial. Tetapi fitur kepribadian lain, seperti suasana hati individu, level aktivitas mereka, atau tingkat reaksi emosional mereka dalam merespons tipe tertentu stimuli lingkungan, bisa jadi secara langsung merefleksikan perbedaan individual dalam biologis bawaan, dan didasarkan kepada proses biologis yang dirujuk sebagai temperamen.[2]
Tubuh dan Temperamen: Pandangan Awal
Pada zaman Yunani kuno, Hippocrates berasumsi bahwa variasi dalam karakteristik psikologis merekleksikan variasi dalam cairan tubuh. Dia percaya bahwa semua benda di alam tersusun dari empat elemen: api, air, tanah, dan udara. Hippocrates dan (seabad kemudian) Galen mengatakan analisis yang sama terhadap cairan tubuh dan karakteristik psikologis yang berhubungan dengannya, keempat elemen alam tersebut dinyatakan direpresentasikan dalam tubuh manusia oleh empat humor (darah, empedu hitam, empedu kuning, dan lendir), dan tiap humor berhubungan dengan temperamen: sanguine, melancholis, chorelic, phlegmatic. Dengan kata lain, dari awal klasifikasi temperamen diajukan seseorang didasarkan kepada susunan atau dasar kimiawi tubuh.
Kant, yang menulis sekitar 1800 M, memikirkan beberapa hal yang sama dengan pemikiran Hippocrates di abad ke empat sebelum masehi. Kant membedakan empat tipe temperamen dan yakin basisnya dapat ditemukan dalam cairan tubuh. Dia percaya bahwa variasi dalam darah merupakan penyebab variasi dalam temperamen. Akan tetapi, dasar konseptualisasi masih tetap sama dengan yang dimiliki oleh orang-orang Yunani kuno tersebut.
Frans Joseph Gall, Gall menemukan bidang frenologi yang mencoba menentukan bidang otak yang bertanggung jawab untuk aspek tertentu fungsi dan emosi perilak. Gall melakukan inspeksi postmortem terhadap otak dan mencoba menghubungkan perbedaan dalam lapisan otak kepada kapasitas, disposisi, dan sifat orang tersebut sebelum meninggal.
Riset kontemporer mengindikasikan  bahwa otak tidak bekerja seagaimana yang diasumsikan oleh Gall, dengan bagian otak tertentu bertanggung jawab terhadap tipe pemikiran atau perilaku sosial tertentu. Malah, pola tindakan dan pemikiran yang paling kompleks dilaksanakan oleh tindakan tersinkronisasi berbagai bagian otak yang saling berhubungan.
Upaya yang mempertahankan  ilmiah pada akhirnya terlihat pada pertengahan abad ke-19. Tiga publikasi berikut ini terbukti penting : The Origin of Species (1859) dan The Expression of Emotions in Man and Animals (1872) karya Charles Darwin, dan Experiments on Plant Hybrids (1865) karya Gregor Mendel. Tentu saja, buku Origin karya Darwin merupakan landasan bagi ilmu biologi kontemporer. Expression of Emotions-nya mendokumentasikan sejumlah hubungan erat antara ekspresi emosional pada diri manusia dan ekspresi emosional pada binatang menyusui kompleks lainnya.
Di AS, upaya serupa dilaksanakan oleh William Sheldon yang berpendapat bahwa setiap orang memiliki struktur biologis dasar bawaan (bentuk, susunan tubuh) yang menentukan temperamennya. Sheldon menentukan tiga dimensi bentuk yang amat berhubungan dengan yang disyaratkan oleh Kretschmer: endormophy (lembut dan bundar), mesomorphy (keras dan petak, berotot), dan ectomorphy (lurus dan rapuh, kurus, sedikit berotot).  
Tubuh dan Temperamen: Studi Longitudinal
Fitur penentu karakterisik psikologi yang disebut “temperamen” adalah temperamen ini pada awal kehidupan yang relatif stabil sepanjang usia. Akan tetapi tidak satu pun studi yang telah disebutkan diatas melibatkan bayi atau riset longitudinal (misalnya, riset yang mempelajari sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu).
Berdasarkan peringkat karakteristik bayi seperti level aktivitas, suasana hati umum, rentang perhatian, dan ketekunan, mereka menfinisikan tiga tipe temperamen: easy baby (bertemperamen rendah) yang senang bermain dan dapat beradaptasi, difficult baby (bertemperamen tinggi) yang bersikap negatif dan tidak dapat beradaptasi, dan slow-to-warm baby yang rendah dalam berktifitas dan biasa saja dalam merespons mereka.
Riset kontemporer mengakui bahwa orang tua dapat secara sistematis bersikap bias ketika menilai kepribadian anak mereka sendiri.[3] Para riset secara umum mencoba untuk mengidentifikasikan serangkaian kecil dimensi perbedaan individual yang menandai variasi utama karakteristik temperamen dalam populasi tersebut secara umum.[4]
Tubuh dan Temperamen: Riset Kagan terhadap Anak yang Terhambat dan yang Tidak Terhambat
Kagan mulai menggunakan pengukuran perilaku dan fungsi biologis secara objektif dan dengan riset laboratorium untuk mempelejari temperamen anak-anak. Berdasarkan kepada observasi masa lalu terhadap ratusan anak, Kagan terkesan dengan apa yang tampak menjadi dua profil perilaku dalam temperamen yang jelas, yang oleh Kagan dikonseptualisasikan sebagai inhibited (terhambat) dan uninhibitet (tidak terhambat).[5]
Menurut hipotesis, bayi yang lahir dengan amat reaktif terhadap sesuatu yang baru akan menjadi anak yang terhambat sedngakan mereka yang lahir dengan reaktivitas yang rendah seharusnya berkembang menjadi anak yang tidak terhambat.
Pada saat yang sama dengan ditekankannya konsistensi temperamen, kita harus menyadari bahwa di sana juga terdapat bukti potensi perubahan. Sebagian besar bayi dengan tingkat reaktivitas yang tinggi tidak menjadi penakut secara konsisten. Perubahan pada diri anak-anak ini khususnya berkaitan dengan ibu yang tidak terlalu protektif dan menempatkan tuntutan yang rasional pada diri mereka.[6]
Riset kontemporer juga menjelaskan tentang bagian otak tertentu yang memberikan konstribusi kepada kecenderungan untuk terhambat dan tidak terhambat.[7] Tampaknya ada lebih dari satu daerah otak yang terlibat, dengan kecenderungan perilaku yang merefleksikan interaksi di antara berbagai sistem neural yang berbeda.
  Kita telah lihat adanya bukti nyata hubungan antara proses biologis dan aspek fungsi kepribadian seperti temperamen. Pada satu sisi, tampak mustahil apabila hubungan semacam itu ada. Walaupun demikian, ada beberapa poin yang harus diperhatikan. Pertama, bukti adanya unsur bawaan tidak berarti bahwa temperamen hanya diwarisi. Sebagaimana semua aspek kepribadian, lingkungan juga memainkan peran penting. Kedua, sebagaimana yang diindikasikan oleh riset Kagan mengindikasikan bahwa bukti sifat bawaan tidak berarti perubahan merupakan kemustahilan.
Pada saat yang sama, penting untuk disadari bahwa pemikiran, emosi, dan perilaku kita memiliki efek pada proses biologis lain. Oleh karena itu, misalnya, emosi kita dapat memengaruhi fungsi sistem kekebalan tubuh kita dalam menghadapi penyakit.[8]  
B.  Teori Evolusioner Dan Kepribadian
Teori Evolusioner Dan Kepribadian: Sintesis Modern, Bagian 1
Biolog dan Psikolog membedakan dua jenis penjelasan ultimate causes (kausa ultima) dan proximate causes (kausa proksimal). Kausa ultima merujuk kepada penjelasan yang diasosiasikan dengan evolusi, yaitu: mengapa perilaku berevolusi dan bagaimana fungsi adaptif dipertahankan. Kausa proksimal merujuk pada proses  boilogis yang beroprasi dalam organisme pada saat perilaku tersebut diobservasi. Dengan kata lain, satu jenis penjelasan mengambil pandangan historis perkembangan spesies, dalam kasus ini pandangan evolusioner, sedangkan penjelasan satunya lagi berfokus pada proses yang bekerja pada saat ini.
Banyak titik perbedaan yakni dimana kecenderungan psikologis dipandang sebagai “permanen” (maksudnya, sebagai aspek karakteristik manusia yang tidak terhindar dan baku) versus kecenderungan yang muncul sebagai akibat interaksi antara biologi dan kultur. Perspektif terakhir menyatakan bahwa kultur yang berbeda akan menghasilkan kecenderungan psikologis yang berbeda.[9]
Ada empat poin tentang evolusi yang disoroti dalam pendekatan psikologi evolusioner ini,[10] antara lain:
Ø  Pikiran yang berevolusi adalah pikiran yang memecahkan masalah penting bagi kesuksesan produksi.
Ø  Mekanisme mental yang berevolusi adaptif dengan cara hidup ratusan tahun yang lalu, ketika nenek moyang kita berburu dan berkumpul.
Ø  Mekanisme psikologi yang berevolusi adalah bersifat domain-spesific. Menurut psikolog evolusioner, kita tidak mengevolusikan kecenderungan umum untuk bertahan hidup.
Ø  Komponen dan struktur otak secara keseluruhan, atau yang biasanya disebut “arsitektur” sistem mental. Salah satu pandangan arsitektur mental adalah pikiran seperti sebuah komputer. Disana terdapat mekanisme pemrosesan pusat dan semua informasi, apa pun isinya, diproses melalui mekanisme ini.
Pertukaran Sosial dan Deteksi Kecurangan
Mekanisme mana yang telah berevolusi melalui seleksi dan masalah adaptif mana yang mereka kembangkan  untuk dipecahkan?
Karya berpengaruh berkaitan dengan pertanyaan ini dilaksanakan oleh psikolog evolusioner Leda Cosmides. Dia mengeksplorasi tipe setting sosial tertentu dan masalah terkait yang dianggapnya merupakan hal prenting sepanjang lintasan evolusi. Setting sosial tersebut mencakup “pertukaran sosial” (social exchange), yaitu pertukaran barang dan jasa. Melalui evolusi, bagian dari interaksi sosial seseorang telah mencakup pertukaran mutual barang yang bermanfaat.
Orang-orang dari kampung yang memiliki hasil panen dalam jumlah yang besar mungkin setuju untuk menukar sebagian makanannya dengan orang dari desa lain yang menghasilkan produk yang diinginkan. Dalam pertukaran seperti itu, menghindari berbuat curang merupakan hal penting. Kemampuan untuk mendeteksi kecurangan memiliki nilai survival. Apabila sering perjalanan waktu anda tak menyadari seseorang membutuhkan pertukaran mencurangi anda secara perlahan akan hilang sumber daya yang dibutuhkan untuk kehidupan sosial, bertahan hidup, dan reproduksi. Anda harus mendeteksi para penipu.
Penelitian lebih baru mengisyaratktan bahwa kemampuan untuk memecahkan masalah tindakan penipuan bersifat universal bagi seluruh manusia, persis sebagaimana yang diperkirakan oleh psikolog evolusioner. Kemampuan deteksi penipuan tidak hanya ditemukan dikalangan mahasiswa AS saja, tetapi juga di kalangan partisipan riset buta huruf yang hidup dalam kultur yang terisolasi dari dunia industri.[11]
Perbedaan Jenis Kelamin: Berasal dari Evolusi?
Domain lain yang menjadi perhatian para psikolog evolusioner adalah perbedaan jenis kelamin. Penalaran  psikolog evolusioner adalah, melalui evolusi, pria dan wanita memiliki peran yang berbeda untuk dimainkan sebagai akibat alamiah perbedaan biologis antara dua jenis kelamin. Karena perbedaan ini telah konsisten sepanjang jalur evolusi, maka disimpulkan bahwa otak manusia telah mengevolusikan kecenderungan psikologis dengan spesifikasi jenis kelamin. Dengan kata lain, pria dan wanita, sebagai hasil menghadapi masalah yang berbeda sepanjang jalur evolusi, diprediksikan memiliki otak yang berbeda yang menjadikan mereka cenderung kepada pola pemikiran, perasaan, dan tindakan yang berbeda.
Secara biologis pria dan wanita berbeda. Jadi salah satu penjelasan adalah kondisi biologis tersebut yang menyebabkan perbedaan jenis kelamin. Akan tetapi, pria dan wanita juga berbeda secara sosial, khususnya, mereka sering kali tumbuh dalam masyarakat yang tidak memperlakukan pria dan wanita secara sederajat.
Walaupun demikian, ide inti psikologi evolusioner adalah unsur biologislah yang menentukan perbedaan psikologis antara pria dan wanita dipandang menyebabkan jenis kelamin. Evolusi perbedaan psikologis antara pria dan wanita dipandang menyebabkan perbedaan gender yang kita amati dalam masyarakat.[12]
Pemilihan Pasangan Pria-Wanita
Menurut teori evolusi, sebagaimana yang dilontarkan Darwin, tekanan seleksi terhadap jalur evolusi manusia telah menghasilkan perbedaan jenis kelamin dalam pemilihan pasangan. Fitur tertentu pada diri pria bersifat atraktif bagi wanita, dan fitur wanita yang menarik bagi pria, diperkirakan merupakan produk evolusi.
Ada dua ide yang mendasari analisis perbedaan jenis kelamin psikolog evolusioner kontemporer. Salah satunya adalah yang disebut parental investmen theory (teori invertasi parental).[13] Teori tersebut merupakan analisis perbedaan biaya, atau investasi, yang dibuat pria versus wanita dalam mengasuh anak sepanjang usia. Ide intinya adalah perbedaan biologis antar jenis kelamin menyebabkan wanita berinvestasi lebih besar dalam pengasuhan anak.
Psikolog evolusioner memperkirakan bahwa, ketika makan malam kencan, pria akan cenderung membayar makan malam. Membayar untuk makan malam dipandang sebagai strategi evolutif yang mana melalui hal tersebut pria menunjukkan sumber daya finansial dan dengan demikian menambah daya tarik mereka. Sebagai tambahan dalam teori investasi parental, kedua alasan tersebut berkaitan dengan menjadi orang tua (parenthood).
Berikut ini beberapa hippotesis yang bersumber dari teori investasi parental dan probabilitas orang tua:[14]
·         Nilai seorang wanita dimata pria ditentukan oleh kemampuan reproduksinya sebagaimana yang diindikasikan oleh kemudahan dan daya tarik fisik.
·         Nilai pria di mata wanita tidak terlalu ditentukan oleh nilai reproduktif tetapi lebih kepada bukti sumber daya yang dapat disuplainya.
·         Pria dan wanita memiliki perbedaan dalam aktifitas yang mengaktifkan kecemburuan, pria lebih cemburu terhadap penyelewengan seksual dan ancaman terhadap kemungkinan parental, dan wanita lebih perhatian terhadap kelekatan emosional dan ancaman kehilangan sumber daya.
Penyebab Cemburu
Tiga studi dilaksanakan untuk menguji hipotesis perbedaan jenis kelamin pada rasa cemburu.[15]
v  Para mahasiswa strata satu ditanya apakah mereka akan mengalami tekanan yang lebih besar dalam merespons penghianatan seksual atau penghianatan emosional.
v  Pengukuran psikologis penderitaan diambil pada mahasiswa strata satu yang membayangkan dua skenario, salah satu skenario itu adalah pasangan mereka berselingkuh secara seksual dengan orang lain dan skenario satunya lagi adalah pasangan mereka berselingkuh secara emosional dengan orang lain.
v  Dieksplorasi adalah hipotesis yang menyatakan bahwa pria dan wanita yang pernah melakukan hubungan seksual akan menunjukkan hasil yang sama dengan studi sebelumnya tetapi lebih besar hasilnya dibandingkan pria dan wanita yang brelum pernah terlibat dalam hubungan seksual.
Ringkasnya, para pengarang menginterpretasikan hasil tersebut sebagai dukungan terhadap hpotesis perbedaan seks dalam aktovator perasaan cemburu. Walaupaun penjelasan alternatif terhadap hasil tersebut diakui para pengarang mengindikasikan bahwa hanya kerangka psikolog evolusilah yang mengarah kepada prediksi tertentu.
Akar Evolusioner Perbedaan Jenis Kelamin 
Psikologi evolusi beranggapan bahwa perbedaan jenis kelamin bersifat universal. Orang memiliki otak dan anatomi tubuh yang sama. Manusia berbagi masa lalu evolusioner umum. Apabila mekanisme psikologi merupakan penyebab perbedaan jenis kelamin dalam perilaku seksual, maka perbedaan jenis kelamin tersebut harus mirip dalam semua daerah dunia dan pada semua kultur manusia.
Ide yang berlawanan mengatakan bahwa perbedaan seks merupakan produk fitur masyarakat di mana orang tersebut tinggal. Di mana ada banyak perbedaan dalam ketersediaan lapangan kerja pria versus wanita dan dalam pemasukan yang mereka peroleh, perbedaan jenis kelamin bisa jadi lebih besar dibandingkan dalam masyarakat dimana pria dan wanita berbagi sama rata dalam pengakuan masyarakat.
Eagly dan Wood telah memberikan bukti bagi persoalan ini. Mereka menganalisis ulang data dari studi multinasional pemilihan pasangan pria dan wanita. Prediksi psikologi evolusi adalah pola perbedaan seks yang mana akan dapat ditemukan dalam semua kultur, dengan wanita yang lebih memilih pria yang memiliki kemampuan menghasilkan dan pria lebih memilih wanita dengan kemampuan rumah tangga.
Dalam perspektif biososial, perbedaan jenis kelamin merefleksikan interaksi antara kualitas biologis pria dan wanita dan faktor sosia, khususnya yang menyangkut kondisi ekonomi dan pembagian kerja dalam masyarakat.[16]
Dalam sebuah studi cermat yang dilakukan oleh oleh Harris, wanita wanita tidak ditemukan lebih responsif terhadap perselingkuhan emosional (versus sosial). Pria merespons perselingkuhan seksual dengan kuat tetapisebagaimana yang ditunjukkan Harris hal tersebut bisa jadi bukan sumber dari perselingkuhan tersebut tetapi dari hubungan seks yang terjadi. Berdasarkan pengkuran psikoanalisisnya, Harris memang menemukan pria merespons dengan kuat terhadap pertemuan seksual terlepas atau tidak ada perselingkuhan yang terkandung. Penelitian selanjutnya juga gagal menemukan perbedaan jenis kelamin yang diprediksikan oleh psikologi evolusi ketika para partisipan riset diminta untuk mengingat peristiwa perselingkuhan nyata yang dialami, ketimbang kejadian perselingkuhan hipotesis yang dipelajari oleh beberapa riset sebelumnya.[17]
Dengan demikian, ringkasnya, data yang sekarang tidak memberikan dukungan konsisten bagi hipotesis psikologi evolusi tentang perbedaan jenis kelamin dalam pencarian pasangan dan perasaan cemburu. Maka, karakteristik alamiah perbedaan gender yang mungkin ada peran hardwiring evolusioner versus struktur sosial dalam memunculkan mereka, masih harus diteliti lebih mendalam.
Teori Evolusioner dan Dimensi Kepribadian Lima Besar
Ada tiga komponen dalam gambaran ini:[18]
1.      Kembali pada hopotesis leksikal fundamental Goldberg, berpendapat bahwa orang menanyakan 5 pertanyaan dasar dan universal ketika mereka berinteraksi dengan orang lain (X)
-          Apakah (X) aktif dan dominan atau pasif dan subnisif (apakah saya dapat menipu X atau X yang menipu saya)?
-          Apakah (X) agreeable (hangat dan menyenangkan) atau disagreeable (dingin dan menerik diri)?
-          Apakah saya dapat mengandalkan X (apakah X bertanggung jawab dan gigih atau tidak dapat bertanggung jawab dan acuh)?
-          Apakah X gila (tidak dapat diprediksi) atau waras (stabil)?
-          Apakah X pintar atau bodoh (seberapa mudah saya mengajarkan X)?
2.      Menurut pandangan evolusi, perbedaan individual ada karena mereka memeinkan peran dalam proses evolusi yang dilakukan oleh seleksi alam.
3.      Ada pandangan bahwa secara biologis manusia mirip dengan kera besar dan karenanya memiliki beberapa karakteristik tertentu yang mirip dengan mereka.
Pandangan evolusi dan lima besar cukup selaras apabila seseorang memandang lima besar sebagai deskriptif. Secara potensial, psikologi evolusi menjelaskan mengapa lima perbedaan individual ini diperhatikan dan dibahas ketika orang mengobservasi dan mendeskripsikan karakteristik psikologis orang lain. Akan tetapi tampaknya akan sulit menyelaraskan perspektif tersebut apabila seseorang memilih memperlakukan lima besar sebagai struktur psikologis yang menyebabkan perilaku seseorang, sebagaimana yang terjadi dalam teori lima faktor.[19]
Dalam psikologi evolusi, unit dasar analisis adalah domain-spesifik. Mekanisme psikologi yang berevolusi memecahkan masalah  domain-spesifik dalam kehidupan (menarik pasangan, mendeteksi pembual, dan lain sebagainya). Sebaliknya, unit analisis teori lima faktor adalah domain general, variabel seperti “exrtaversion” atau “conscientiousness” tidak merujuk pada tipe domain sosial tertentu dimana si orang tersebut sudah dianggap extraverted atau conscientious.
Penjelasan Evolusioner: Komentar
Dalam peroide awal sejarah psikologi, penjelasan evolusioner atas perilaku manusia diabaikan atau tidak disukai. Sekarang, beberapa psikolog yang mempertanyakan analisis evolusi spesies kita dapat memberikan pemahaman terhadap karakteristik alamiah otak manusia kontemporer. Walaupun demikian, para peneliti pendapat dalam keyakinan mereka terhadap tingkatan dimana psikolog evolusioner dapat memberikan dasar bagi analisis kepribadian.
Buss, misalnya mengindikasikan bahwa kerangka evolusi menawarkan nyaris satu-satunya harapan untuk membawa bidang psikologi kedalam tatanan teoritis. Dia menyatakan bahwa perilaku manusia tergantung pada mekanisme psokologis, dan penyebab tunggal yang diketahui mekanisme seperti itu adalah evolusi oleh seleksi alam.
Penting untuk dicatat bahwa kritik psikologi evolusioner tidak hanya dilancarkan oleh psikolog yang tertarik pada akibat dari kekuatan sosial. Kritik tersebut juga dilancarkan oleh ahli-ahli biologi yang amat akrab dengan teori evolusi, tapi merasa bahwa psikolog evolusi terlalu berlebihan dalam menjelaskan akibat mekanisme evolusi dalam pemikiran dan tindakan manusia.
Pertimbangan terakhir adalah, bahkan apabila seseorang menerima prinsip psikologi evolusi, maka prinsip-prinsip ini gagal menjawab beberapa topik yang merupakan perhatian utama psikologi kepribadian.[20]
Ringkasnya, jelas bahwa psikologi evolusi merupakan kerangka teoritis kuat yang bernilai amat penting bagi psikologi kepribadian. Akan tetapi, dalam jangka panjang, sulit untuk menentukan apakah pendekatan tersebut akan menjadi kerangka terorganisir dalam bidang tersebut, atau hanya menjadi pelengkap kerngka lain dengan memberikan wawasan tentang landasan evolusioner dari kapasitas psikologis yang berkembang melalui interaksi dengan dunia sosial.
C.  Gen dan Kepribadian
Dalam menilai hubungna antara gen dan perilaku, adalah penting untuk memahami bahwa gen tidak mengatur perilaku secara langsung. Dengan demikian, tidak ada “gen exstraversion” atau “gen introversion”, dan tidak ada pula “gen neuroticism”. Sampai pada tingkat dimana gen memengaruhi perkembangan karakteristik kepribadian seperti lima besar, mereka juga melakukan hal tersebut melalui pengarahan fungsi biologis tubuh.
Genetika Behavioral
Para ahli genetika behavioral menggunakan beragam teknik untuk memperkirakan seberapa jauh pengaruh faktor genetik terhadap variasi dalam karakteristik psikologis. Metode behavioral genetics juga dapat, dan telah, memberikan efek lingkungan terhadap kepribadian. Behavioral genetics menggunakan tiga metode riset utama studi selective breeding, studi anak kembar, dan studi adopsi.
Studi Selective Breeding
Selective breeding bukan hanya teknik riset, teknik tersebut digunakan untuk, misalnya membiakkan kuda balap dengan karakteristik yang diinginkan.
Para peneliti dapat mengurutkan efek perbedaan genetik dan perbedaan lingkungan para perilaku yang diamati kemudian. Sebagai contoh, peran faktor genetik dan lingkungan dalam perilaku menyalak atau ketakutan dapat dipelajari dengan menempatkan keturunan yang berbeda secara genetik ke kondisi lingkungan tempat dibesarkan yang berbeda.[21]    

Pembahasan Kata (Ilmu Logika)


PEMBAHASAN KATA  (LOGIKA)
I.  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra pesisiran sebagai bagian dari sastra Jawa memiliki kaitan erat dengan proses perkembangan kehidupan keagamaan karena pada dasarnya kehidupan sehari-hari masyarakat tak dapat dilepaskan dari kerangka agama. Ia biasanya diidentifikasikan sebagai karya sastra yang berkaitan erat dengan proses Islamisasi Jawa yang memakan waktu cukup lama serta berlangsung dengan damai.
Karya-karya ynag muncul dari kalangan penulis memperlihatkan warna agama yang begitu dominan, bahkan ada kecenderungan ke arah mempertahankan unsur legalistik dalam agama dari kemungkinan masuknya elemen-elemen yang dianggap mengandung unsur menyesatkan.
B. Rumusan Masalah
a.  Apa pengertian sastra secara istilah dan menurut para sastrawan ?  
b.  Bagaimana perkembangan sastra hasil interelasi Islam dan Jawa ?
c.  Bagaimana aspek keterkaitan Islam terhadap sastra Jawa itu sendiri ?

II.  PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sastra
‘Sastra’ sebagai istilah yang menunjukkan pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori sastra (membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membentuk suatru karya sastra, jenis-jenis sastra, dan perkembangan pemikiran sastra), sejarah sastra (membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan/perkembangan suatu karya satra, tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra, termasuk karya sastra yang menonjol dari aliran-aliran yang mendasari suatu karya sastra terkait dengan kondisi ideologi dan sosial yang mempengaruhinya), kritik sastra (membicarakan mengenai pemahaman, penafsiran, penilaian, dan penghayatan terhadap suatu karya sastra).[1]
Menurut Teeuw (1984 : 23) mengemukakan bahwa kata ‘sastra’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, member petunjuk/instruksi’. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata satra diberi awalan ‘su’ (menjadi susastra). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ (tulisan yang indah dan sopan).
Istilah ‘sastra’ dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah literature (latin=litere) yang menunjuk pada karya tulis atau karya tulis yang dicetak (sebanarnya juga termasuk karya sastra yang tidak hanya tertulis, tetapi juga yang tertulis/lisan).
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1993 : 3 dan 11) mengemukakan bahwa ‘sastra’ merupakan suatu kegiatan kreatif atau sebuah karya seni, yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun yang tercetak, termasuk karya sastra lisan. Jadi, istilah ‘sastra’ yang terkait dengan suatu karya (karya sastra) merupakan suatu tulisan (karya) yang sifatnya imajinatif (imajinative literature) yang diterapkan pada (umumnya) dalam seni sastra.[2]
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari. Rene Wellek dan Austin Warren (1993 :15-17) mengemukakan bahwa bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjuk pada nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha, mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya (berusaha) mengubah sikap pembaca. Hal yang penting dalam bahasa satra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-katanya. Dalam bahasa sastra, sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematik dan dengan sengaja.
Menurut Atmazaki (1990 : 28-29) mengemukakan bahwa jenis-jenis karya sastra meliputi: [3]
(1)   karya sastra yang berbentuk prosa,
Pada dasarnya kata prosa tidak langsung berhubungan dengan karya sastra. Prosa lebih dekat dengan pemaparan, dan sebuah pemaparan dikatakan mengandung nilai karya sastra karena (a) didalam pemaparan terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kalimat yang membentuk sebuah wacana, tidak berbentuk bait dan baris, sehingga deretan peristiwa itu akan membentuk sebuah cerita, (b) dalam peristiwa itu perlunya peran seorang tokoh, yaitu orang yang berperan dan menggerakkan deretan peristiwa, (c) dalam deretan peristiwa dan tokohnya adalah fiktif (bukan realitas).     
(2)   karya sastra yang berbentuk puisi,
Menurut Herman J. Waluyo (1997 : 1) yang mengemukakan bahwa puisi sebagai bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya-karya besar dunia seperti : Oedipus, Hamlet, Mahabrata, Ramayana, Bharatayudha, dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi. Dengan demikian, puisi tidak hanyauntuk menulis dalam karya sastra, tetapi juga seperti yanf dinyanyikan para artis Indonesia (dengan tema puisi cinta, puisi lingkungan, dan sebagainya) menunjukkan bahwa puisi juga bisa dinyanyikan, didendangkan, dan diperdengarkan secara indah (merdu/enak).
(3)   karya sastra yang berbentuk drama.
Karya sastra yang berbentuk drama ini ditentukan dengan adanya dialog antar tokoh (cerita terjadi karena dialog), dan dapat dinikmati melalui sebuah pementasan. Biasanya darama merupakan peristiwa itu sendiri / peristiwa yan dipentaskan, dan berhubungan dengan partisipasi penonton / penikmat. [4]
B.     Fungsi Sastra
Fungsi sastra adalah mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat, (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral). Suatu karya sastra dikatakan memiliki nilai keindahan karena karya sastra yang terungkap dalam sebuah prosa, puisi, ataupun drama merupakan suatu karya yang dapat dinikmati, baik bagi pembacanya (bagi prosa), pendengarnya (bagi pendengarannya), dan penontonnya (bagi yang melihatnya).[5]
Yang lebih penting mengenai fungsi sebuah karya sastra menurut Edgar Allan yaitu memiliki nilai hiburan dan nilai didaktik (didactic heresy). Suatu karya sastra dapat mengandung ajaran pesan moral dan maksud atau misinya biasanya berupa pemberian pelajaran lewat berbagai nasihat, petunjuk atau bimbingan kepada semua orang dalam memperbaiki kehidupan.
C.    Gambaran Puisi (Karya Sastra) di Indonesia, Khususnya di Jawa
Telah diuraikan di atas bahwa karya sastra yang berbentuk puisi dianggap sebagai karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di berbagai daerah Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah mantra, muncul apa yang disebut sebagai: parikan dan syair/ wangsalan, dan di Jawa dikenal dengan nama ‘macapat’ yang merupakan puisi Jawa.[6]
Mantra yang merupakan bentuk puisi lama Jawa dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/ supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan denga Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya  kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra. Mantra pada prinsipnya untuk pernohonan, baik permohonan yang megandung (niat) psotif maupun negatif. Contoh : nilai positif, seperti mantra (ilmu) pengasihan, permohonan agar turun hujan dan yang nilai negatif, seperti menjalankan pencurian atau ilmu untuk mencederai seseorang dengan santet, tenung, dan teluh.[7]
Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah talibun, gurindam, dan tersina yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair. Pantun dan syair menunjukkan ikatan yang kuat dalam hal struktu kebahasaan. Ikatan yang memberikab nilai keindahan dalam struktur kebahsaan itu berupa : (1) jumlah suku kata setiap baris, (2) jumlah bait setiap baris, (3) jumlah bait setiap puisi, (4) aturan dalam hal struktur dan ritma.
Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang mempunyai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan merupakan puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yag lazim disebut sampiran. Sementara wangsalan berupa: dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur lainnya.
Contoh parikan : Wis suwe ora jamu / jamu pisan godhonge tela / wis suwe ora ketemu sapisan gawe gelo (artinya: sudah lama tidak minum jamu / minum jamu sekali saja dannya ketela / sudah lama tidak ketemu / ketemu sekali saja membuat kecewa). Sedangkan contoh wangsalan : jenang sela (apu) / wader kali sesonderan (sepat) / apuran to yen wonten lepat kawula).[8]
D.     Keterkaitan Islam dengan Karya Sastra Jawa
Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru sedangkan puisi (temabng / sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai / nasehat yang secara substansial merupakan petunjuk/ nasihat yang bersumber pada ajaran Islam.[9]
Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kulitas saat sekarang ini. Ditambah lagi, puisi Jawa baru (tembang / sekar macapat) ini jelas-jelas bermetrum Islam. Artinya, muncul Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang hindu. Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi  yang berbentuk tembang / sekar Macapat.
Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:
(1)   Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
(2)   Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk / nasihat kepada siapapun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).


E.     Keterkaitan Islam dengan Karya-Karya Sastra Jawa
Bentuk puisi yang dipakai dalam membuat karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta adalah puisi Jawa yang memiliki metrum Islam, yaitu Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggila, Pangkur, Maskumambang, Durma, Gambuh, dan Megatruh. Tembang-tembang Macapat yang berbentuk puisi Jawa itu mengendung nilai sastra.
Dalam puisi Jawa baru (seperti temabang-tembang macapat) sekaligus termuat pengkonsentrasian/pemadatan. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa setiap puisi menunjukkan tembang-tembang Macapat kata-katanya terpilih (selektif dan tidak ada kata-kata yang tidak bermakna), dan bentuk bahasanya cermat dan tepat. Jadi, tembang-tembang Macapat yang merupakan puisi Jawa baru terungkap dalam karya sastra, oleh para pujangga dipakai untuk terungkap dalam karya sasatra, oleh para pujangga dipakai untuk menyampaikan berbagai ide mereka. Sifat yang demikian merupakan persyaratan sebuah puisi yang memiliki nilai sastra yang berualitas.
III.  KESIMPULAN
Jadi sastra pada masa hindu budha kita kenal dengan yang namanya mantra. Mantra tersebut hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh orang yang dianggap memiliki daya linuwih saja. Namun karya sastra itu tidak hanya berupa mantra, tetapi sudah berkembang, ada yang namanya pantun atau syair, yang lebih dikenal pada saat itu dengan sebuan parikan dan wangsalan.
Keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut.
Paham kejawen yang memiliki kesejajaran dengan tasawuf mistik merupakan realitas masyarakat Jawa yang memiliki pengikut dan perkembangannya amat tergantung kepada seberapa jauh apresiasi generasi penerus terhadap nilai-nilai masa lalu yang ada dalam ajaran sastra pedalaman sebagaimana adanya.


IV.  PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, semoga dapat menambah ilmu serta bermanfaat bagi kita semua. Segala kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, kami hanyalah manusia biasa yang mamiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharpkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah.

DAFTAR PUSTAKA

     Amin, Drs, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
     Faruqi, Ismail R. Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
     Hasan, M, Tholhah. Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
     Djamil, H, Abdul. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.



[1] Drs. Darori Amin. Islam dan Kebudayaan Jawa. hlm. 139-140
[2] Ibid. hlm 141-142
[3]Djamil, H, Abdul. Islam dan Kebudayaan Jawa. hlm. 146
[4] Ibid. hlm. 147
[5]M, Tholhah, Hasan. Islam dalam Perspektif Sosial Cultur. Hlm. 150-151
[6] Ibid. hlm. 152
[7]  http://hanacaraka.fateback.com/wangsalan.htm/ Tgl. 23 April 2011. Jam 15.00
[8] Ibid. hlm. 152
[9] Ismail R. Faruqi. Islam dan Kebudayaan. Hlm. 159-160