Selamat Datang di Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Blog ini merupakan hasil matakuliah Teknologi Komunikasi dan Informasi, namun tidak menutup kemungkinan Blog ini akan terus berkembang untuk kemajuan Dakwah Islam. Terima kasih atas kunjungannya dan selamat menikmati bacaan yang ada. Semoga Bermanfaat. Amin

Rabu, 27 Juni 2012

TERORISME (Studi Kebijakan Dakwah)


I.     PENDAHULUAN
Terorisme pada dasarnya merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan dengan peradaban manuaia itu sendiri. Terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, ditengarai telah ada jaman Yunani Kuno, dan pada abad pertengahan (Kerstetter, 1983). Dalam konteks ini, terorisme secara klasik diartikan sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dalam masyarakat.
Terorisme mulai berkembang dengan mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi, elektronik, transportasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kimiawi. Sejalan dengan perkembangan revolusi dunia metode teror tidak lagi hanya dilakukan oleh negara yang direprentasikan oleh para penguasa, tetapi juga mulai dipraktikkan oleh kaum pergerakan. Bagi kaum pergerakan, teror dan kekerasan dianggap efektif untuk melemahkan pihak musuh, sehingga dapat membantu mencapai tujuan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan.
Di Indonesia, terorisme pun sudah dikenal di awal kemerdekaan RI. Radikalisme gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Di bawah pimpinan Kartosuwiryo, menjadi embrio bagi berkembangnya kelompok-kelompok radikal yang menerapkan teror sebagai metode perjuangan.[1]

Klasifikasi dalam Ilmu Logika


KLASIFIKASI DALAM ILMU LOGIKA

I.     PENDAHULUAN
Klasifikasi adalah pengelompokan barang  yang sama dan memisahkan dari yang berbeda menurut spesiasnya. Dalam kehidupan sehari-hari pekerjaan pengelompokan semacam itu sangat sering kita lakukan. Misalnya para penjual buah-buahan menyusun dagangannya dengan beberapa cara, berdasarkan macam buah yang dijual, berdasarkan harganya, dan mungkin pula berdasarkan besar kecilnya buah-buhan itu. Pemilik toko menyusun barang-barang yang dijajakan berdasarkan barang sejenis. Para ilmuwan membuat klasifikasi ilmu menjadi tiga golongan besar, ilmu-ilmu social, ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu humaniora. Dalam makalah ini akan kita bahas lebih lanjut mengenai klasifikasi.

Selasa, 26 Juni 2012

Behaviorisme (Tingkah Laku)


I.     PENDAHULUAN

Seperti telah kita ketahui, Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Waston pada tahun 1931. Sama halnya dengan psikoanalisa, behaviorisme juga merupakan aliran yang revolusioner, kuat dan berpengaruh serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam.
Sejumlah filosof  dan ilmuan sebelum Waston dalam satu dan lain bentuk telah mengajukan gagasan-gagasan mengenai pendekatan objektif dalam mempelajari manusia berdasarkan pandangan yang mekanistik dan materialistis, suatu pendekatan yang menjadi ciri utama dari behaviorisme. Seorang diantaranya adalah Ivan Pavlon (1849-1936), seorang ahli fisiologi Rusia.
Setiap mahasiswa psikologi pasti mengenal nama Ivan Pavlov, dengan percobaannya mengenai pengondisian klasik (classical conditioning). Percobaan Pavlov mengenai pengondisian klasik ini, yang prosedur lengkapnya akan dibahas dalam uraian selanjutnya, telah mengilhami Waston untuk mengembangkan behaviorisme. Di tangan Waston, pengondisian klasik Pavlonv menjadi kunci untuk menerangkan tingkah laku manusia dalam pendekatan yang objektif dan ilmiah.
Penekanan Waston atas pengondisian, dalam kerangka kerja behaviorisme, telah mendorong lahirnya sejumlah gagasan dan studi ilmiah mengenai proses belajar atau pembelajaran (learning), dan pembelajaran ini menjadi titik perhatian utama para behavioris hingga kini. Dan dengan dirangsang oleh pemikiran para pemikir besar seperti seperti Edwin Guthrie (1886-1959), Clark Hull (1884-1952), dan Edward Tolman (1886-1959), para behavioris telah berhasil memperjelas dan menyempurnakan gagasan mengenai pembelajaran yang kemudian menjadi landasan yang kokoh bagi berbagai kegiatan praktis seperti pendidikan, pekerjaan atau bisnis, dan psikoterapi.
Dalam bab ini kita akan membahas teori kepribadian behaviorisme dengan menampilkan B.F. Skinner dengan sejumlah gagasan pokoknya, dengan alasan bahwa Skinner adalah seorang tokoh behaviorisme yang paling produktif menemukakan gagasan dan penelitian, paling berpengaruh, serta paling berani dan tegas dalam menjawab tantangan dan kritik-kritik atas behaviorisme.[1]

Daulah ‘Utsmaniyyah


I.     PENDAHULUAN

Pada waktu Munguliyah sedang menuju kehancurannya, maka bangkitlah Daulah Usmaniyah di Asia Kecil, yang kemudian dengan segera menyebrang laut menuju Eropa, dan dalam tahun 857 H. Kota Konstantinopel (Istambul) dapat direbutnya.
Dari Istambul Daulah Usmaniyah memperluas daerah kekuasaannya ke Semenanjung Balkan, sehingga kota Wina dikepungnya, dan berkibarlah bendera Islam diangkasa Timua Eropa, sungguhpun pada waktu itu Andalusia mulai lepas dari kekuasaan Islam.
Dari semenanjung Balkan, Daulah Usmaniyah melebarkan sayapnya kejurusan timur, sehingga dalam waktu yang sangat pendek seluruh Persia dan Irak yang dikuasai oleh Daulah Shafawiyah yang beraliran Syi’ah dapat dikuasainya, sehingga aliran Syi’ah digantinya dengan aliran Sunny.
Masa Usmany bagi Kebudayaan Islam, adalah zaman yang paling suram dalam sejarahnya, karena keadaan politik dan sosial yang kacau memberi pengaruh yang sangat jelek kepada perkembangan kebudayaan pada umumnya, dan perkembangan ilmu pada khususnya. Dalam zaman yang suram ini bagi kebudayaan Islam, hampir-hampir tidak pernah lahir para Ulama yang mempunyai  pikiran originil.[1]
Daulah ‘Utsmaniyyah ternyata adalah daulah yang banyak dipengaruhi aqidah tasawuf mendukung penuh gerakan Sufi dgn berbagai macam tarekat-tarekat yg sangat bertentangan dengan Islam dan tauhid. dlm pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah telah masuk berbagai macam bentuk adat termasuk sebagian adat peribadatan Nashara seperti cara kehidupan kependetaan yang dikenal dgn Ar-Rahbaniyyah melantunkan dzikir-dzikir dgn lantunan nada diiringi tari-tarian disertai pula teriakan-teriakan dan tepuk tangan. Berbagai macam bentuk peringatan maulid dan berbagai macam aliran bid’ah yg lainnya. Bahkan telah masuk pula adat istiadat Hindu Persia dan Yunani dgn berbagai macam dakwah aqidah yg menyesatkan.[2]

Feminisme & Fundamentalisme Islam


Judul Buku   : Feminisme Dan Fundamentalisme Islam
Pengarang     : Haideh Moghissi
Penerbit        : Yogyakarta : LkiS, 1999
Tebal Buku  : xxii + 226 halaman: 14,5x21 cm
PENDAHULUAN
Masyarakat  Islam tampaknya terjebak dalam cengkraman dua arus sosial yang kontradiktif. Seiring dengan terbentuknya metafora-metafora, simbol-simbol dan ajaran-ajaran Islam sebagai ungkapan politik, semakin banyak masyarakat disepanjang wilayah Timur Tengah memandang Islam sebagai sebuah proyek pembebasan.
Pada saat yang sama, di negara-negara tempat para Islamis berkuasa, semakin banyak orang, karena merasa kecewa dengan janji-janji mereka yang tidak pernah terwujud, berpaling kembali pada militansi Islam.
Legitimasi Islam yang digunakan para islamis semakin memudar seiring dengan semakin lebarnya gap yang terjadi antara sikaya dan simiskin, dan semakin meningkatnya korupsi terang-terangan yang dilakukan oleh para penguasa autokrat, mempersulit posisi para pemimpin dari kelas menengah. Klaim-klaim untuk mewujudakn sebuah masyarakat yang adil hnya menjadi sebuah lelucon saja.
Selain kebulatan tekat untuk membatasi hak-hak perempuan, rezim-rezim Fundamentalis kelihatannya tidak melakukan hal lain selain hanya mempertahankan status quo,sambil memakaikan topi syari’ah (kolah-e Sharii) semata diatasnya.
   Dengan tidak terwujudnya sebuah masyarakat yang adil, para penguasa Muslim dianggap sebagai penerus kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang pada pertengahan 1970-an, telah mengantarkan pada krisis yang memunculkan gerakan-gerakan fundamentalis.
Tekana kultural-kultural dan kampanye-kampanye moral atas perempuan dan pemuda membangkitkan keinginan untuk berontak. Akan tetapi, melalui manipulasi terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat dan penggunaan intimidasi serta teror yang tidak manusiawi, para Islamis mengamankan kekuasaan mereka dengan penentangan sengit terhadap para nasionalis-liberal-sekuler dan proyek-proyek sosialis di sepanjang wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.
Perempuan paling dirugikan dibandingkan dengan laki-laki akibat konservatisme sosial yang menjadi simbol gerakan-gerakan fundamendamentalis dimana saja. Mulai dari Afganistan hingga Algeria, Sudan, Pakistan, dan Iran, bahkan diseluruh masyarakat Islam, perempuan secara terus menerus diperlakukan secara kasar dan terjebak dalam pertarungan hebat antara kekuatan sekuler dan fundamentalis.
Perempuan mengalami teror hebat, remaja-remaja putri tidak henti-hentinya diculik, diperkosa, dibakar dan dibunuh. Diantara ratusan korban perkosaan, beberapa dari mereka melahirkan setelah berhasil diselamatkan, tetapi mereka lebih memilih untuk bersembunyi daripada kembali ke desa-desa mereka.
Banyak teror-teror ini yang diketahui oleh komunitas internasional. Tetapi pemerintah-pemerintah Barat tetap menjalankan kebijakan-kebijakan ganda. Seperti kebijakan Reagan yang kontra-Iran disatu pihak dan penjualan senjata kepada penguasa Iran Ayatollah Khomeini dipihak lain. Meskipun hal ini mengundang kutukan dari para pejabat Amerika Serikat sendiri karena pelanggarannya terhadap hak-hak asasi manusia.
Perlakuan rezim-rezim fundamentalis terhadap perempuan menarik perhatian dibarat. Perempuan banyak menghiasi komentar-komentar ilmiah dan jurnalistik. Isu seputar hak-hak perempuan diperkenalkan melalui pernyataan resmi dan laporan pemerintah. Akan tetapi, isu resebut seringkali dimanfaatkan secara ideologis untuk mengisolasikan dan menahan musuh-musuh yang kuat. Terbukti, isu hak-hak perempuan tidak pernah diminculkan ketika berhadapan dengan rekan-rekan penghasil minyak mereka (Barat) di semenanjung Arabia.
Pernyataan yang selalu muncul tulisan-tulisan kritis itu untuk kepentingan siapa dan berpihak kepada siapa? Karena situasi inilah beerapa sarjana menolak memberikan gambaran-gambaran tentang praktik-praktik dan tradisi Islam yang keras, sebagai gantinya, mereka lebih  yang  pada aspek-aspek positif dari kebudayaan Islam. Akan tetapi, sikap seperti ini juga sangat problematik.
 Jalan terbaik untuk mengekpresikan solidaritas atas keberagaman Muslim adalah tidak mendiamkan karakter-karakter opsesif dari tradisi kultural seseorang atau praktik-praktik-praktik yang tidak humanis dari rezim-rezim fundamentalis. Ini berarti tidak turut serta dalam sikap pembelaan diri yang destruktif yang telah membentuk imaginasi anti-kolonial dalam masyarakat Islam menolak sikap mengagungkan dan menyesali diri sendiri.
   Masyarakat yang hidup dibawah naungan hukum Islam tidak serta merta budaya (ametaculture), walaupun sedikit terikat dengan politik Islamis. Banyak orang yang mengalami diskriminasi dan lebih banyak lagi yang dihukum dengan keji hanya karena alasan yang semata-mata dipakai untuk melihat perbedaan jalan hidup dan cara pandang Muslim dan Barat. Akan tetapi, ia juga merupakan sebuah terma yang berguna untuk menunjukkan perbedaan jalan hidup dan cara pandang di kalangan masysrakat Muslim.

Intimasi (Ketertarikan)


I.                    PENDAHULUAN
Salah satu hal yang mendasari terjadi hubungan sosial adalah seberapa jauh seseorang tertarik dengan orang lain. Apabila ada daya tarik di antara mereka, maka kemungkinan terjadinya hubungan lebih besar. Kenyataan seperti ini bisa dilihat ditempat-tempat umum. Karena tidak ada perhatian dan ketertarikan dengan wanita yang duduk disalah satu bangku, seorang pria tidak akan menjalin hubungan sosial dengan wanita tersebut. Sebaliknya, meskipun kondisi yang ada sebenarnya sulit untuk mengadakan kontak sosial, tetapi karena seseorang tertarik sangat kuat pada orang lain, maka akan diusahakan oleh oarang pertama tersebut untuk menjalin hubungan.
Dalam kehidupan manusia di dunia tentunya setiap individu tidak akan pernah terlepas dengan orang lain atau berinteraksi dalam memenuhi kebutuhannya. Sejalan dengan interaksi manusia dalam kehidupannya kerap kali muncul suatu hubungan di antara individu, hubungan itu berawal dari sebuah interaksi antar individu yang semakin lama sehingga menimbulkan sebuah perasaan ketertarikan antar individu, berawal dari ketertarikan itu manusia akan menjalani hubungan yang jauh yang berupa persahabatan, setelah masa persahabatan berjalan baik dalam waktu yang lama atau pendek terkadang akan menimbulkan perasaan yang lebih mendalam di antara individu, perasaan itulah yang di sebut dengan intimasi.[1]

Manajemen Lembaga Pendidikan


MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN
I.     PENDAHULUAN
Manajemen sebagai suatu proses, fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan bersama.[1]
Pembangunan Nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan manusia yang maju, stabil dan makmur serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri baik yang berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan nasonal.
Dari rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional jelaslah betapa besar tanggung jawab pendidikan nasional. Melalui pendidikan nasional diharapkan dapat ditingkatkan kemampuan, mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia. Untuk itu, pendidikan nasional diharapkan menghasilkan manusia terdidik yang utuh baik keimanan, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kepribadian, dan rasa tanggungjawabnya.
Untuk memperoleh fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut diatas maka lembaga pendidikan perlu di menej (dikelola) secara efektif dan efisien. Menajemen pendidikan adalah kemampuan/keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka  pencapaian tujuan melalui kegiatan orang lain. Stoner mengemukakan bahwa manajemen sebagai seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain. Siagian, mengemukakan bahwa manajemen pada hakikatnya berfungsi untuk melakukan semua kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan.
Melaksanakan berbagai untuk menekuni tujuan pendidikan merupakan proses kerjasama antara dua orang atau lebiih. Proses kerjasama antara hdua orang atau lebih untuk memberdayakan berbagai komponen dalam sistem pendidikan nasional adalah kajian manajemen (pengelolaan) dan kriteria keberhasilan pendidikan.[2]