DASAR
BIOLOGIS MANUSIA
I. LATAR BELAKANG
Selama
berabad-abad manusia telah mecoba memahami hubungan antara tubuh dan jiwa,
antara konstitusi tubuh dan kepribadian. Dan sejak 1880-an ketika Sir Francis
Galton membedakan antara “nature” (bawaan) dan “nurture” (lingkungan), para
psikolog telah memberikan perhatian kepada hubungan keduanya.
Dalam
eksploirasi masyur tentang hubungan antara biologi dan kepribadian, nuerolog
terkenal Antonio Damasio (1994). Pandangan bahwa tubuh dan jiwa, biologi dan
kepribadian, merupakan dua hal yana saling berhubungan memiliki sejarah yang
panjang. Dalam pembahasan ini akan melacak beberapa sejarah berkaitan dengan
konsep temperamen, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai aspek fundamental
kepribadian kita dan jelas merupakan bagia dari kepribadian Gage yang berubah
ketika batang besi tersebut menembus otaknya.
II. RUMUSAN
MASALAH
A. Temperamen
B. Teori
Evolusi dan Kepribadian
C. Gen
dan Kepribadian
D. Neurosain
dan Kepribadian
III.
PEMBAHASAN
A. Temperamen
Biasanya
para psikolog menggunakan istilah temperamen untuk merujuk kepada perbedaan
individual dalam suasana hati (mood) atau kualitas respons emosional.
Konsep temperamen merujuk kepada perbedaan kualitas emosional atau perilaku yang
cukup stabil yang penampakannya pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh faktor
boilogis bawaan.[1]
Kita
mendapatkan ketrampilan sosial, konsep diri, tujuan personal dalam hidup, dan
seterusnya melalui interaksi dengan dunia sosial. Tetapi fitur kepribadian
lain, seperti suasana hati individu, level aktivitas mereka, atau tingkat
reaksi emosional mereka dalam merespons tipe tertentu stimuli lingkungan, bisa
jadi secara langsung merefleksikan perbedaan individual dalam biologis bawaan,
dan didasarkan kepada proses biologis yang dirujuk sebagai temperamen.[2]
Tubuh
dan Temperamen: Pandangan Awal
Pada
zaman Yunani kuno, Hippocrates berasumsi bahwa variasi dalam karakteristik
psikologis merekleksikan variasi dalam cairan tubuh. Dia percaya bahwa semua
benda di alam tersusun dari empat elemen: api, air, tanah, dan udara.
Hippocrates dan (seabad kemudian) Galen mengatakan analisis yang sama terhadap
cairan tubuh dan karakteristik psikologis yang berhubungan dengannya, keempat
elemen alam tersebut dinyatakan direpresentasikan dalam tubuh manusia oleh
empat humor (darah, empedu hitam, empedu kuning, dan lendir), dan tiap humor
berhubungan dengan temperamen: sanguine, melancholis, chorelic, phlegmatic.
Dengan kata lain, dari awal klasifikasi temperamen diajukan seseorang
didasarkan kepada susunan atau dasar kimiawi tubuh.
Kant,
yang menulis sekitar 1800 M, memikirkan beberapa hal yang sama dengan pemikiran
Hippocrates di abad ke empat sebelum masehi. Kant membedakan empat tipe
temperamen dan yakin basisnya dapat ditemukan dalam cairan tubuh. Dia percaya
bahwa variasi dalam darah merupakan penyebab variasi dalam temperamen. Akan
tetapi, dasar konseptualisasi masih tetap sama dengan yang dimiliki oleh
orang-orang Yunani kuno tersebut.
Frans
Joseph Gall, Gall menemukan bidang frenologi yang mencoba menentukan
bidang otak yang bertanggung jawab untuk aspek tertentu fungsi dan emosi
perilak. Gall melakukan inspeksi postmortem terhadap otak dan mencoba
menghubungkan perbedaan dalam lapisan otak kepada kapasitas, disposisi, dan
sifat orang tersebut sebelum meninggal.
Riset
kontemporer mengindikasikan bahwa otak
tidak bekerja seagaimana yang diasumsikan oleh Gall, dengan bagian otak
tertentu bertanggung jawab terhadap tipe pemikiran atau perilaku sosial
tertentu. Malah, pola tindakan dan pemikiran yang paling kompleks dilaksanakan oleh
tindakan tersinkronisasi berbagai bagian otak yang saling berhubungan.
Upaya
yang mempertahankan ilmiah pada akhirnya
terlihat pada pertengahan abad ke-19. Tiga publikasi berikut ini terbukti
penting : The Origin of Species (1859) dan The Expression of Emotions in Man
and Animals (1872) karya Charles Darwin, dan Experiments on Plant Hybrids
(1865) karya Gregor Mendel. Tentu saja, buku Origin karya Darwin merupakan
landasan bagi ilmu biologi kontemporer. Expression of Emotions-nya
mendokumentasikan sejumlah hubungan erat antara ekspresi emosional pada diri
manusia dan ekspresi emosional pada binatang menyusui kompleks lainnya.
Di
AS, upaya serupa dilaksanakan oleh William Sheldon yang berpendapat bahwa
setiap orang memiliki struktur biologis dasar bawaan (bentuk, susunan tubuh)
yang menentukan temperamennya. Sheldon menentukan tiga dimensi bentuk yang amat
berhubungan dengan yang disyaratkan oleh Kretschmer: endormophy (lembut dan
bundar), mesomorphy (keras dan petak, berotot), dan ectomorphy (lurus dan rapuh,
kurus, sedikit berotot).
Tubuh
dan Temperamen: Studi Longitudinal
Fitur
penentu karakterisik psikologi yang disebut “temperamen” adalah temperamen ini
pada awal kehidupan yang relatif stabil sepanjang usia. Akan tetapi tidak satu
pun studi yang telah disebutkan diatas melibatkan bayi atau riset longitudinal
(misalnya, riset yang mempelajari sekelompok orang dalam jangka waktu
tertentu).
Berdasarkan
peringkat karakteristik bayi seperti level aktivitas, suasana hati umum,
rentang perhatian, dan ketekunan, mereka menfinisikan tiga tipe temperamen:
easy baby (bertemperamen rendah) yang senang bermain dan dapat beradaptasi,
difficult baby (bertemperamen tinggi) yang bersikap negatif dan tidak dapat
beradaptasi, dan slow-to-warm baby yang rendah dalam berktifitas dan biasa saja
dalam merespons mereka.
Riset
kontemporer mengakui bahwa orang tua dapat secara sistematis bersikap bias
ketika menilai kepribadian anak mereka sendiri.[3]
Para riset secara umum mencoba untuk mengidentifikasikan serangkaian kecil dimensi
perbedaan individual yang menandai variasi utama karakteristik temperamen dalam
populasi tersebut secara umum.[4]
Tubuh
dan Temperamen: Riset Kagan terhadap Anak yang Terhambat dan yang Tidak
Terhambat
Kagan
mulai menggunakan pengukuran perilaku dan fungsi biologis secara objektif dan
dengan riset laboratorium untuk mempelejari temperamen anak-anak. Berdasarkan
kepada observasi masa lalu terhadap ratusan anak, Kagan terkesan dengan apa
yang tampak menjadi dua profil perilaku dalam temperamen yang jelas, yang oleh
Kagan dikonseptualisasikan sebagai inhibited (terhambat) dan uninhibitet
(tidak terhambat).[5]
Menurut
hipotesis, bayi yang lahir dengan amat reaktif terhadap sesuatu yang baru akan
menjadi anak yang terhambat sedngakan mereka yang lahir dengan reaktivitas yang
rendah seharusnya berkembang menjadi anak yang tidak terhambat.
Pada
saat yang sama dengan ditekankannya konsistensi temperamen, kita harus
menyadari bahwa di sana juga terdapat bukti potensi perubahan. Sebagian besar
bayi dengan tingkat reaktivitas yang tinggi tidak menjadi penakut secara
konsisten. Perubahan pada diri anak-anak ini khususnya berkaitan dengan ibu
yang tidak terlalu protektif dan menempatkan tuntutan yang rasional pada diri
mereka.[6]
Riset
kontemporer juga menjelaskan tentang bagian otak tertentu yang memberikan
konstribusi kepada kecenderungan untuk terhambat dan tidak terhambat.[7]
Tampaknya ada lebih dari satu daerah otak yang terlibat, dengan kecenderungan
perilaku yang merefleksikan interaksi di antara berbagai sistem neural yang
berbeda.
Kita
telah lihat adanya bukti nyata hubungan antara proses biologis dan aspek fungsi
kepribadian seperti temperamen. Pada satu sisi, tampak mustahil apabila
hubungan semacam itu ada. Walaupun demikian, ada beberapa poin yang harus
diperhatikan. Pertama, bukti adanya unsur bawaan tidak berarti bahwa temperamen
hanya diwarisi. Sebagaimana semua aspek kepribadian, lingkungan juga memainkan
peran penting. Kedua, sebagaimana yang diindikasikan oleh riset Kagan
mengindikasikan bahwa bukti sifat bawaan tidak berarti perubahan merupakan
kemustahilan.
Pada
saat yang sama, penting untuk disadari bahwa pemikiran, emosi, dan perilaku
kita memiliki efek pada proses biologis lain. Oleh karena itu, misalnya, emosi
kita dapat memengaruhi fungsi sistem kekebalan tubuh kita dalam menghadapi
penyakit.[8]
B. Teori Evolusioner Dan Kepribadian
Teori Evolusioner Dan
Kepribadian: Sintesis Modern, Bagian 1
Biolog
dan Psikolog membedakan dua jenis penjelasan ultimate causes (kausa
ultima) dan proximate causes (kausa proksimal). Kausa ultima merujuk
kepada penjelasan yang diasosiasikan dengan evolusi, yaitu: mengapa perilaku
berevolusi dan bagaimana fungsi adaptif dipertahankan. Kausa proksimal merujuk
pada proses boilogis yang beroprasi
dalam organisme pada saat perilaku tersebut diobservasi. Dengan kata lain, satu
jenis penjelasan mengambil pandangan historis perkembangan spesies, dalam kasus
ini pandangan evolusioner, sedangkan penjelasan satunya lagi berfokus pada
proses yang bekerja pada saat ini.
Banyak
titik perbedaan yakni dimana kecenderungan psikologis dipandang sebagai
“permanen” (maksudnya, sebagai aspek karakteristik manusia yang tidak terhindar
dan baku) versus kecenderungan yang muncul sebagai akibat interaksi antara
biologi dan kultur. Perspektif terakhir menyatakan bahwa kultur yang berbeda
akan menghasilkan kecenderungan psikologis yang berbeda.[9]
Ada
empat poin tentang evolusi yang disoroti dalam pendekatan psikologi evolusioner
ini,[10]
antara lain:
Ø Pikiran
yang berevolusi adalah pikiran yang memecahkan masalah penting bagi kesuksesan
produksi.
Ø Mekanisme
mental yang berevolusi adaptif dengan cara hidup ratusan tahun yang lalu,
ketika nenek moyang kita berburu dan berkumpul.
Ø Mekanisme
psikologi yang berevolusi adalah bersifat domain-spesific. Menurut psikolog
evolusioner, kita tidak mengevolusikan kecenderungan umum untuk bertahan hidup.
Ø Komponen
dan struktur otak secara keseluruhan, atau yang biasanya disebut “arsitektur”
sistem mental. Salah satu pandangan arsitektur mental adalah pikiran seperti
sebuah komputer. Disana terdapat mekanisme pemrosesan pusat dan semua
informasi, apa pun isinya, diproses melalui mekanisme ini.
Pertukaran
Sosial dan Deteksi Kecurangan
Mekanisme
mana yang telah berevolusi melalui seleksi dan masalah adaptif mana yang mereka
kembangkan untuk dipecahkan?
Karya
berpengaruh berkaitan dengan pertanyaan ini dilaksanakan oleh psikolog
evolusioner Leda Cosmides. Dia mengeksplorasi tipe setting sosial
tertentu dan masalah terkait yang dianggapnya merupakan hal prenting sepanjang
lintasan evolusi. Setting sosial tersebut mencakup “pertukaran sosial” (social
exchange), yaitu pertukaran barang dan jasa. Melalui evolusi, bagian dari
interaksi sosial seseorang telah mencakup pertukaran mutual barang yang
bermanfaat.
Orang-orang
dari kampung yang memiliki hasil panen dalam jumlah yang besar mungkin setuju
untuk menukar sebagian makanannya dengan orang dari desa lain yang menghasilkan
produk yang diinginkan. Dalam pertukaran seperti itu, menghindari berbuat
curang merupakan hal penting. Kemampuan untuk mendeteksi kecurangan memiliki
nilai survival. Apabila sering perjalanan waktu anda tak menyadari seseorang
membutuhkan pertukaran mencurangi anda secara perlahan akan hilang sumber daya
yang dibutuhkan untuk kehidupan sosial, bertahan hidup, dan reproduksi. Anda
harus mendeteksi para penipu.
Penelitian
lebih baru mengisyaratktan bahwa kemampuan untuk memecahkan masalah tindakan
penipuan bersifat universal bagi seluruh manusia, persis sebagaimana yang
diperkirakan oleh psikolog evolusioner. Kemampuan deteksi penipuan tidak hanya ditemukan
dikalangan mahasiswa AS saja, tetapi juga di kalangan partisipan riset buta
huruf yang hidup dalam kultur yang terisolasi dari dunia industri.[11]
Perbedaan
Jenis Kelamin: Berasal dari Evolusi?
Domain
lain yang menjadi perhatian para psikolog evolusioner adalah perbedaan jenis
kelamin. Penalaran psikolog evolusioner
adalah, melalui evolusi, pria dan wanita memiliki peran yang berbeda untuk
dimainkan sebagai akibat alamiah perbedaan biologis antara dua jenis kelamin.
Karena perbedaan ini telah konsisten sepanjang jalur evolusi, maka disimpulkan
bahwa otak manusia telah mengevolusikan kecenderungan psikologis dengan
spesifikasi jenis kelamin. Dengan kata lain, pria dan wanita, sebagai hasil
menghadapi masalah yang berbeda sepanjang jalur evolusi, diprediksikan memiliki
otak yang berbeda yang menjadikan mereka cenderung kepada pola pemikiran,
perasaan, dan tindakan yang berbeda.
Secara
biologis pria dan wanita berbeda. Jadi salah satu penjelasan adalah kondisi
biologis tersebut yang menyebabkan perbedaan jenis kelamin. Akan tetapi, pria
dan wanita juga berbeda secara sosial, khususnya, mereka sering kali tumbuh
dalam masyarakat yang tidak memperlakukan pria dan wanita secara sederajat.
Walaupun
demikian, ide inti psikologi evolusioner adalah unsur biologislah yang
menentukan perbedaan psikologis antara pria dan wanita dipandang menyebabkan
jenis kelamin. Evolusi perbedaan psikologis antara pria dan wanita dipandang
menyebabkan perbedaan gender yang kita amati dalam masyarakat.[12]
Pemilihan
Pasangan Pria-Wanita
Menurut
teori evolusi, sebagaimana yang dilontarkan Darwin, tekanan seleksi terhadap
jalur evolusi manusia telah menghasilkan perbedaan jenis kelamin dalam
pemilihan pasangan. Fitur tertentu pada diri pria bersifat atraktif bagi
wanita, dan fitur wanita yang menarik bagi pria, diperkirakan merupakan produk
evolusi.
Ada
dua ide yang mendasari analisis perbedaan jenis kelamin psikolog evolusioner
kontemporer. Salah satunya adalah yang disebut parental investmen theory
(teori invertasi parental).[13]
Teori tersebut merupakan analisis perbedaan biaya, atau investasi, yang dibuat
pria versus wanita dalam mengasuh anak sepanjang usia. Ide intinya adalah
perbedaan biologis antar jenis kelamin menyebabkan wanita berinvestasi lebih
besar dalam pengasuhan anak.
Psikolog
evolusioner memperkirakan bahwa, ketika makan malam kencan, pria akan cenderung
membayar makan malam. Membayar untuk makan malam dipandang sebagai strategi
evolutif yang mana melalui hal tersebut pria menunjukkan sumber daya finansial
dan dengan demikian menambah daya tarik mereka. Sebagai tambahan dalam teori
investasi parental, kedua alasan tersebut berkaitan dengan menjadi orang tua (parenthood).
Berikut
ini beberapa hippotesis yang bersumber dari teori investasi parental dan
probabilitas orang tua:[14]
·
Nilai seorang
wanita dimata pria ditentukan oleh kemampuan reproduksinya sebagaimana yang
diindikasikan oleh kemudahan dan daya tarik fisik.
·
Nilai pria di
mata wanita tidak terlalu ditentukan oleh nilai reproduktif tetapi lebih kepada
bukti sumber daya yang dapat disuplainya.
·
Pria dan wanita
memiliki perbedaan dalam aktifitas yang mengaktifkan kecemburuan, pria lebih
cemburu terhadap penyelewengan seksual dan ancaman terhadap kemungkinan
parental, dan wanita lebih perhatian terhadap kelekatan emosional dan ancaman
kehilangan sumber daya.
Penyebab
Cemburu
Tiga
studi dilaksanakan untuk menguji hipotesis perbedaan jenis kelamin pada rasa cemburu.[15]
v Para
mahasiswa strata satu ditanya apakah mereka akan mengalami tekanan yang lebih
besar dalam merespons penghianatan seksual atau penghianatan emosional.
v Pengukuran
psikologis penderitaan diambil pada mahasiswa strata satu yang membayangkan dua
skenario, salah satu skenario itu adalah pasangan mereka berselingkuh secara
seksual dengan orang lain dan skenario satunya lagi adalah pasangan mereka
berselingkuh secara emosional dengan orang lain.
v Dieksplorasi
adalah hipotesis yang menyatakan bahwa pria dan wanita yang pernah melakukan
hubungan seksual akan menunjukkan hasil yang sama dengan studi sebelumnya
tetapi lebih besar hasilnya dibandingkan pria dan wanita yang brelum pernah
terlibat dalam hubungan seksual.
Ringkasnya,
para pengarang menginterpretasikan hasil tersebut sebagai dukungan terhadap
hpotesis perbedaan seks dalam aktovator perasaan cemburu. Walaupaun penjelasan
alternatif terhadap hasil tersebut diakui para pengarang mengindikasikan bahwa
hanya kerangka psikolog evolusilah yang mengarah kepada prediksi tertentu.
Akar
Evolusioner Perbedaan Jenis Kelamin
Psikologi
evolusi beranggapan bahwa perbedaan jenis kelamin bersifat universal. Orang
memiliki otak dan anatomi tubuh yang sama. Manusia berbagi masa lalu
evolusioner umum. Apabila mekanisme psikologi merupakan penyebab perbedaan
jenis kelamin dalam perilaku seksual, maka perbedaan jenis kelamin tersebut
harus mirip dalam semua daerah dunia dan pada semua kultur manusia.
Ide
yang berlawanan mengatakan bahwa perbedaan seks merupakan produk fitur
masyarakat di mana orang tersebut tinggal. Di mana ada banyak perbedaan dalam
ketersediaan lapangan kerja pria versus wanita dan dalam pemasukan yang mereka
peroleh, perbedaan jenis kelamin bisa jadi lebih besar dibandingkan dalam
masyarakat dimana pria dan wanita berbagi sama rata dalam pengakuan masyarakat.
Eagly
dan Wood telah memberikan bukti bagi persoalan ini. Mereka menganalisis ulang
data dari studi multinasional pemilihan pasangan pria dan wanita. Prediksi
psikologi evolusi adalah pola perbedaan seks yang mana akan dapat ditemukan
dalam semua kultur, dengan wanita yang lebih memilih pria yang memiliki
kemampuan menghasilkan dan pria lebih memilih wanita dengan kemampuan rumah
tangga.
Dalam
perspektif biososial, perbedaan jenis kelamin merefleksikan interaksi antara
kualitas biologis pria dan wanita dan faktor sosia, khususnya yang menyangkut
kondisi ekonomi dan pembagian kerja dalam masyarakat.[16]
Dalam
sebuah studi cermat yang dilakukan oleh oleh Harris, wanita wanita tidak
ditemukan lebih responsif terhadap perselingkuhan emosional (versus sosial).
Pria merespons perselingkuhan seksual dengan kuat tetapisebagaimana yang
ditunjukkan Harris hal tersebut bisa jadi bukan sumber dari perselingkuhan
tersebut tetapi dari hubungan seks yang terjadi. Berdasarkan pengkuran
psikoanalisisnya, Harris memang menemukan pria merespons dengan kuat terhadap
pertemuan seksual terlepas atau tidak ada perselingkuhan yang
terkandung. Penelitian selanjutnya juga gagal menemukan perbedaan jenis kelamin
yang diprediksikan oleh psikologi evolusi ketika para partisipan riset diminta
untuk mengingat peristiwa perselingkuhan nyata yang dialami, ketimbang kejadian
perselingkuhan hipotesis yang dipelajari oleh beberapa riset sebelumnya.[17]
Dengan
demikian, ringkasnya, data yang sekarang tidak memberikan dukungan konsisten
bagi hipotesis psikologi evolusi tentang perbedaan jenis kelamin dalam
pencarian pasangan dan perasaan cemburu. Maka, karakteristik alamiah perbedaan
gender yang mungkin ada peran hardwiring evolusioner versus struktur
sosial dalam memunculkan mereka, masih harus diteliti lebih mendalam.
Teori Evolusioner dan
Dimensi Kepribadian Lima Besar
Ada tiga komponen dalam
gambaran ini:[18]
1. Kembali
pada hopotesis leksikal fundamental Goldberg, berpendapat bahwa orang menanyakan
5 pertanyaan dasar dan universal ketika mereka berinteraksi dengan orang lain
(X)
-
Apakah (X) aktif
dan dominan atau pasif dan subnisif (apakah saya dapat menipu X atau X yang
menipu saya)?
-
Apakah (X) agreeable
(hangat dan menyenangkan) atau disagreeable (dingin dan menerik diri)?
-
Apakah saya
dapat mengandalkan X (apakah X bertanggung jawab dan gigih atau tidak dapat
bertanggung jawab dan acuh)?
-
Apakah X gila
(tidak dapat diprediksi) atau waras (stabil)?
-
Apakah X pintar
atau bodoh (seberapa mudah saya mengajarkan X)?
2. Menurut
pandangan evolusi, perbedaan individual ada karena mereka memeinkan peran dalam
proses evolusi yang dilakukan oleh seleksi alam.
3. Ada
pandangan bahwa secara biologis manusia mirip dengan kera besar dan karenanya
memiliki beberapa karakteristik tertentu yang mirip dengan mereka.
Pandangan
evolusi dan lima besar cukup selaras apabila seseorang memandang lima besar
sebagai deskriptif. Secara potensial, psikologi evolusi menjelaskan mengapa
lima perbedaan individual ini diperhatikan dan dibahas ketika orang
mengobservasi dan mendeskripsikan karakteristik psikologis orang lain. Akan
tetapi tampaknya akan sulit menyelaraskan perspektif tersebut apabila seseorang
memilih memperlakukan lima besar sebagai struktur psikologis yang menyebabkan
perilaku seseorang, sebagaimana yang terjadi dalam teori lima faktor.[19]
Dalam
psikologi evolusi, unit dasar analisis adalah domain-spesifik. Mekanisme
psikologi yang berevolusi memecahkan masalah domain-spesifik dalam kehidupan (menarik
pasangan, mendeteksi pembual, dan lain sebagainya). Sebaliknya, unit analisis
teori lima faktor adalah domain general, variabel seperti “exrtaversion” atau “conscientiousness”
tidak merujuk pada tipe domain sosial tertentu dimana si orang tersebut
sudah dianggap extraverted atau conscientious.
Penjelasan
Evolusioner: Komentar
Dalam
peroide awal sejarah psikologi, penjelasan evolusioner atas perilaku manusia
diabaikan atau tidak disukai. Sekarang, beberapa psikolog yang mempertanyakan
analisis evolusi spesies kita dapat memberikan pemahaman terhadap karakteristik
alamiah otak manusia kontemporer. Walaupun demikian, para peneliti pendapat
dalam keyakinan mereka terhadap tingkatan dimana psikolog evolusioner dapat
memberikan dasar bagi analisis kepribadian.
Buss,
misalnya mengindikasikan bahwa kerangka evolusi menawarkan nyaris satu-satunya
harapan untuk membawa bidang psikologi kedalam tatanan teoritis. Dia menyatakan
bahwa perilaku manusia tergantung pada mekanisme psokologis, dan penyebab
tunggal yang diketahui mekanisme seperti itu adalah evolusi oleh seleksi alam.
Penting
untuk dicatat bahwa kritik psikologi evolusioner tidak hanya dilancarkan oleh
psikolog yang tertarik pada akibat dari kekuatan sosial. Kritik tersebut juga
dilancarkan oleh ahli-ahli biologi yang amat akrab dengan teori evolusi, tapi
merasa bahwa psikolog evolusi terlalu berlebihan dalam menjelaskan akibat
mekanisme evolusi dalam pemikiran dan tindakan manusia.
Pertimbangan
terakhir adalah, bahkan apabila seseorang menerima prinsip psikologi evolusi,
maka prinsip-prinsip ini gagal menjawab beberapa topik yang merupakan perhatian
utama psikologi kepribadian.[20]
Ringkasnya,
jelas bahwa psikologi evolusi merupakan kerangka teoritis kuat yang bernilai
amat penting bagi psikologi kepribadian. Akan tetapi, dalam jangka panjang,
sulit untuk menentukan apakah pendekatan tersebut akan menjadi kerangka
terorganisir dalam bidang tersebut, atau hanya menjadi pelengkap kerngka lain
dengan memberikan wawasan tentang landasan evolusioner dari kapasitas
psikologis yang berkembang melalui interaksi dengan dunia sosial.
C. Gen dan Kepribadian
Dalam
menilai hubungna antara gen dan perilaku, adalah penting untuk memahami bahwa
gen tidak mengatur perilaku secara langsung. Dengan demikian, tidak ada “gen
exstraversion” atau “gen introversion”, dan tidak ada pula “gen
neuroticism”. Sampai pada tingkat dimana gen memengaruhi perkembangan
karakteristik kepribadian seperti lima besar, mereka juga melakukan hal
tersebut melalui pengarahan fungsi biologis tubuh.
Genetika Behavioral
Para
ahli genetika behavioral menggunakan beragam teknik untuk memperkirakan
seberapa jauh pengaruh faktor genetik terhadap variasi dalam karakteristik
psikologis. Metode behavioral genetics juga dapat, dan telah, memberikan
efek lingkungan terhadap kepribadian. Behavioral genetics menggunakan
tiga metode riset utama studi selective breeding, studi anak kembar, dan
studi adopsi.
Studi Selective Breeding
Selective
breeding bukan hanya teknik riset, teknik tersebut digunakan
untuk, misalnya membiakkan kuda balap dengan karakteristik yang diinginkan.
Para
peneliti dapat mengurutkan efek perbedaan genetik dan perbedaan lingkungan para
perilaku yang diamati kemudian. Sebagai contoh, peran faktor genetik dan
lingkungan dalam perilaku menyalak atau ketakutan dapat dipelajari dengan
menempatkan keturunan yang berbeda secara genetik ke kondisi lingkungan tempat
dibesarkan yang berbeda.[21]